Inspiration

PELITA JIWA DAN AIR MATA

Ada sebuah cerita anonim yang mengisahkan seorang bapak yang sangat mencintai anak dan keluarganya. Kisah ini menggambarkan perjuangan seorang bapak terhadap putri kesayangannya yang menderita penyakit  ganas. Bapak itu mengupayakan segala daya dan usaha demi mengobati penyakit anaknya. Dokter sudah memberi vonis bahwa anak gadis yang malang itu tidak akan bertahan hidup lebih lama. Penyakit yang menggerogoti tubuh gadis kecil itu sulit disembuhkan. Tetapi sang bapak tidak peduli. Ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap berjuang demi kesembuhan anak gadisnya. Ia tidak rela anak gadisnya itu meninggal dalam usia muda.

Penyakit yang diderita anak gadis itu sudah memasuki stadium kritis. Setiap detik menjadi perjuangan antara hidup dan mati bagi gadis kecil yang tergolek lemah di pembaringan itu. Suatu ketika ia memandang bapaknya yang ada di samping tempat tidurnya. Dengan lirih ia berkata, “Pak, aku melihat banyak malaikat kecil berbaju putih di sini. Mereka ingin bermain denganku. Boleh kan, Pak?” Air mata sang bapak itu pun terbendung lagi. Ia tak kuasa mengatakan apapun pada anaknya. Dengan berat hati, bapaknya mengangguk lemah. Ia tak bisa menyembunyikan tangis kesedihannya.

Tak lama kemudian bapak itu ia menjerit histeris. Mata anaknya sudah menutup untuk selamanya. Gadis kecil yang cantik itu telah pergi. Kepergiannya hanya meninggalkan seulas senyum pada orang tuanya. Senyuman terakhir itu yang akan menjadi kenangan selamanya.

Duka itu telah membuat semangat hidup sang bapak jatuh. Ia tak memperhatikan keluarganya. Pekerjaannya pun terbengkelai. Rasa gundah sang bapak itu berkepanjangan. Ia berhari-hari mengurung diri, mengutuki diri dan menangis. Sering ia melamun sendirian sampai berjam-jam.  Ia sudah lupa bahwa ia punya tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ia melupakan hidupnya sendiri.  Keputusasaan akhirnya merenggut semangat hidupnya.

Suatu malam, setelah beberapa bulan ia meratapi kepergian anak gadisnya, ia bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan anak gadisnya. Ia berada di tengah para malaikat berbaju putih dengan membawa lilin menyala. Tapia da satu lilin yang padam. Lilin itu dibawa anaknya.

“Kenapa lilinmu tidak dinyalakan, Nak,” tanya sang bapak.

“Pak, temen-temenku selalu menyalakan lilinku, tapi apinya mati terus karena kena air mata Bapak,” sahut anak gadisnya dalam mimpi.

Betapa kita juga sering bersikap seperti bapak dalam cerita itu. Kita terlalu larut dan tenggelam dalam kegundahan hati, kekecewaan, kesedihan, kejengkelan. Apalagi di tengah pandemi yang merenggut ribuan kematian. Sampai-sampai kita menyia-nyiakan hidup kita sendiri. Kesedihan tak bisa ditolak. Demikian pula rasa kehilangan.

Tapi ketika kita selalu membawa kesedihan itu dalam setiap detik kehidupan, bukan tidak mungkin jalan hidup kita pun akan tersendat. Kesedihan itu memberi beban tersendiri pada hidup kita. Ia ibarat batu kali yang besar yang selalu kita bawa. Padahal pekerjaan kita tidak memerlukan batu kali sama sekali.

Tanpa kita sadari, mungkin air mata kesedihan kita juga  membebani langkah para jiwa orang yang kita kasihi. Perjalanan mereka di alam baka menjadi tersendat. Pelita penerang di alam keabadian mereka selalu mati karena terbasahi oleh air mata kita. Kasihan, mereka akan berjalan di tengah kegelapan alam keabadian. Biarkan pelita para jiwa itu menyala tanpa air mata kita. Doa, cinta, dan harapan akan membuat pelita jiwa mereka selalu menyala. *** Leo Wahyudi S).

Gambar diambil dari pixabay.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: