Inspiration

MASA DEPAN DARI MULUT KE PERUT

Hidup kadang susah, dan bahkan saat ini sedang dalam masa yang menyusahkan. Tapi hidup tidak selalu susah ketika melihat alam semesta telah menyediakan semua yang diperlukan penghuninya. Alam siap memberikan isinya pada siapapun yang mau berkarya. Hidup dan kehidupan memang universal. Tidak dibatasi ruang.  Di kota, di desa, di pesisir, di pegunungan semua memiliki kehidupan. Yang membedakan adalah kualitas hidup dan bagaimana menghayati penghidupan masing-masing orang.

Saya pernah mengamati dan berbincang dengan sepasang suami istri berpenampilan lusuh. Mereka sedang duduk di bawah pohon rindang di suatu siang. Pasangan muda itu sedang berbagi nasi bungkus. Mereka tampak lahap menikmati santap siang.

Pasangan itu biasanya ditemani sebuah gerobak tua. Sudah lima tahun kedua orang itu setia berjalan menyusuri jalanan kota besar. Mereka menghampiri pembuangan sampah ke pembuangan sampah lainnya. Kehidupannya selalu akrab dengan bau sampah menyengat. Barang-barang buangan itulah nafkah mereka. Mereka begitu menghayati kehidupan sehari itu. Mereka bertahan hidup dari apa yang diperolehnya sehari.

Jika ada orang kaya yang membuang barang bekasnya ke tempat sampah, maka mereka akan mendapat rejeki nomplok. Itupun jika mereka datang lebih pagi dari pemulung lainnya. Tak jarang kompetisi antar pemulung telah membuatnya kecewa. Dan tak jarang mereka harus menahan lapar seharian karena kalah bersaing. Dunia sampah tidak selalu ramah. Sampah bau itu diperebutkan demi perut.

Namun ada hal menarik dari kehidupan pemulung. Mereka mencari rejeki untuk sehari. Bisa makan dan minum tiga kali sehari sudah mereka syukuri. Masa depan bagi mereka merupakan sesuatu yang terlalu jauh. Dua puluh empat jam perjalanan waktu sudah merupakan rentang masa yang harus mereka hadapi setiap hari. Mulut bisa makan dan perut bisa kenyang sudah merupakan masa depan yang mereka capai. Untuk pemululung seperti pasangan muda itu, rentang masa depan hanya sejauh mulut ke perut. Masa depan bagi mereka tidak muluk. Cukup menjalani ritme kerja dalam sehari, mereka sudah menjalani masa depan. Tidak perlu terlalu jauh. Cukup berjalan ke depan mengisi satu hari. Itulah masa depan. Sederhana.

Bukankah suatu doa mengajarkan bahwa kita memohon rejeki yang cukup untuk sehari. Bukan untuk besok. Bukan untuk minggu depan, atau bulan depan, atau tahun depan. Sang Pemberi Hidup mengingatkan manusia untuk tidak khawatir dengan hari esok. Cukuplah hidup untuk hari ini. Tidak perlu manusia disibukkan dengan rentang masa yang terlalu jauh dan belum terjadi. Sedangkan burung di udara yang tidak pernah menanam pun selalu diberi makan, dipelihara hidupnya, apalagi manusia yang memiliki akal budi.

Semakin mereka-reka sesuatu yang belum terjadi dalam rentang waktu yang panjang, semakin manusia dihinggapi rasa kekhawatiran. Rasa khawatir mengikis dan bahkan menghapuskan rasa percaya. Percaya bahwa ada Sang Pemberi Hidup yang senantiasa akan menghidupi. 

Mungkin baik belajar kearifan dari pemulung. Masa depan hanya sejauh mulut ke perut. Cukuplah rejeki yang telah diberikan untuk hari ini. Hari esok sudah ada kesusahannya sendiri. Tidak perlu semua kesusahan esok dimasukkan dalam pekerjaan yang dilakukan hari ini. Kekhawatiran hilang. Rasa percaya pada Sang Empunya Kehidupan pun tetap terjaga. Hidup pun terus berlanjut dengan untaian syukur setiap hari. Tugas manusia adalah berkarya demi rejeki pada hari ini.*** (Leo Wahyudi S)

Photo credit: news.detik.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: