WORK FROM HEART
Pandemi virus corona atau COVID-19 sudah mewabah di 162 negara di dunia dengan 175.203 kasus, 6.713 kematian dan 77.867 orang yang sembuh menurut data dari worldometers.info per 16 Maret 2020. Di Indonesia sudah ada 134 kasus, 5 kematian dan 8 yang tersembuhkan. Presiden Jokowi pun segera mengambil langkah penting untuk menahan laju penyebaran dan penularan virus corona dengan instruksi untuk menjaga jarak sosial atau yang diistilahkan social distancing. Presiden juga menginstruksikan agar masyarakat belajar, bekerja dan beribadah dari rumah.
Langkah penting yang diambil Presiden Jokowi ini lalu melambungkan istilah social distancing dan work from home. Dua istilah yang dalam kondisi normal tidak bakal dilakukan. Sebagai makluk sosial dan orang Indonesia, interaksi sosial merupakan hakikat melekat dari sebuah bangsa dengan budaya ketimuran yang kental dengan kekerabatan sosial. Sementara, istilah work from home, bekerja dari rumah, juga belum terlalu populer untuk Indonesia yang roda ekonominya masih dikendalikan oleh sebagian kecil Generasi Baby Boomers, sebagian besar Generasi X dan baru sedikit Generasi Y atau Millenial. Sebelum Generasi Millenial, bekerja artinya melakukan pekerjaan profesional di suatu tempat atau kantor dengan pertemuan fisik dan formal yang terlokalisir dan terorganisir. Sementara bagi kaum millennial, work from home atau remote working menjadi sangat lekat dengan gaya hidup dan pola pikir mereka yang dinamis. Bekerja bisa dilakukan dari manapun. Yang penting hasil pekerjaannya.
Terlepas dari dampak ekonomi dan sosial yang timbul, saya mencoba melihat sisi positif dari kebijakan social distancing dan work from home ini. Menjaga jarak sosial, social distancing, ini membuat frekuensi pertemuan, interaksi dan kontak fisik di luar rumah menjadi berkurang. Dengan menciptakan jarak sosial ini, setidaknya syahwat orang untuk berkumpul dan bergunjing, bergosip, yang tidak perlu menjadi terkurangi. Potensi konflik sosial akibat interaksi dan friksi sosial pun menjadi berkurang. Angka stres karyawan karena pertemuan fisik dengan bos juga mungkin sedikit berkurang.
Tapi saya juga tidak menafikkan kenyataan bahwa social distancing ini hanya dalam artian fisik. Karena di era internet of things, dimana semua hal bisa terkoneksi melalui jaringan internet, jarak sosial sesungguhnya sudah hilang. Jarak geografis bukan lagi halangan. Pertemuan fisik tergantikan dengan perjumpaan di dunia maya, dunia digital, dunia media sosial. Jadi syahwat bergosip dan bermufakat jahat pun masih dapat tersalur. Penggorengan dan pemelintiran isu politik pun tetap berjalan tanpa hambatan. Hoax pun tersebar makin masif. Bahkan bisa lebih intensif. Untungnya virus corona tidak bisa menular melalui jalur digital. Jadi interaksi sosial lewat dunia maya tetap aman dari virus ini, kecuali virus mental.
Work from home, atau bekerja dari rumah, kini menjadi pilihan. Sisi positifnya, ongkos transportasi, tol, bensin, stres di jalanan bisa jauh berkurang. Semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah. Yang laris adalah tukang pulsa dan provider telekomunikasi, bukan tukang jual masker lagi. Layanan internet menjadi pengganti ongkos transportasi, karena semua dilakukan secara daring (online). Kebijakan ini seolah menjadi liburan masal. Interaksi keluarga akan menjadi lebih intensif karena semua berkumpul dan beraktifitas di rumah. Kondisi ini bisa menjadi momentum untuk makin mempererat hubungan antara orang tua dan anak-anak, saudara, pasangan.
Saya sepakat, bahwa pandemi virus corona harus disikapi dengan tenang. Kesehatan tubuh dan kewarasan nalar menjadi kombinasi ampuh untuk menahan penyebaran wabah ini. Social distancing dan work from home harus dimaknai sebagai work from heart, bekerja dari hati. Ini jauh lebih penting dan lebih membangkitkan spirit kebaikan. Bekerja dari hati untuk menguatkan spirit kebangsaan, kemanusiaan, kepedulian demi menciptakan dunia yang penuh kedamaian. Virus kedengkian dan kebencian pun akan mati jika kita menghayati work from heart. ***(Leo Wahyudi S)
Photo credit: searchenginejournal.com
Leave a Reply