Pandemi virus Covid-19 sudah berhasil meluluhlantakkan tatanan dunia. Tatanan sosial porak poranda. Tatanan ekonomi terpuruk. Tatanan budaya pun ikut bergeser perlahan. Semua umat manusia hidup serasa dalam ketidakpastian karena seolah kita berkejaran dengan mesin pembunuh dan kematian. Hukum rimba di dunia modern bangkit lagi. Siapa kuat akan hidup. Siapa lemah akan mati. Sebuah kenyataan pahit gegara virus renik yang harus kita akrabi.
Banyak sudah wujud kepedulian antarsesama selama pandemi. Semua bahu membahu demi bertahan hidup. Semua terpanggil untuk menyatukan hati dan menyalurkan berkah bagi yang membutuhkan. Apalagi ketika melihat angka kemiskinan yang makin merangkak naik akibat pengangguran dan pemutusan hubungan kerja. Roda ekonomi melamban, tetapi perut tetap bergolak memerlukan makan.
Saya teringat pada seorang pedagang balon yang selalu mengitari kompleks perumahan. Mungkin sudah lebih dari delapan tahun saya melihat tukang balon itu. Buktinya anak saya yang kini menginjak remaja masih ingat saat masih di TK pernah membeli balon dari orang tersebut. Saya salut dan hormat dengan kesetiaannya pada pekerjaannya. Entah berapa kilometer ia harus berjalan setiap hari untuk menjajakan balon-balon hiasnya.
Banyak orang yang tergerak untuk menyisihkan sebagian rejekinya untuk dibagikan. Tapi kadang bingung, bagaimana caranya berbagi. Padahal masih banyak orang yang memerlukan uluran rejeki agar orang lain tetap hidup di tengah pandemi.
Suatu ketika anak saya yang sudah berumur belasan tiba-tiba minta dibelikan balon dari pedagang tersebut. Saya pun kaget. Tapi kemudian saya tahu maksudnya. Ia pun membeli dua balon hias seharga tiga puluh ribu. Tampak riang wajahnya saat berlari-larian memainkan balonnya. Tak berapa lama, anak saya lari kepada seorang anak kecil. Lalu diberikannya balon satunya.
Melihat hal itu tetangga saya berkomentar. “Jaman sedang susah begini kenapa memboroskan uang hanya untuk membeli balon yang tak berguna, apalagi bagi anak yang sudah tumbuh remaja,” katanya.
Saya pun menjawab, “Nggak apa-apa, Bu. Toh balon membuat orang gembira. Penjualnya gembira karena balonnya laku dan ia mendapatkan uang untuk keluarganya. Anaknya pun gembira karena kerinduan masa kecilnya terpenuhi. Ia pun senang bisa memberikan balonnya kepada temannya yang kemudian juga ikut gembira bermain balon.”
Kadang saya memang ‘memboroskan’ uang untuk membeli sesuatu yang tidak perlu dan tidak dibutuhkan. Tetapi, dalam kondisi seperti ini, apa salahnya kalau pemborosan ini justru menjadi berkah, rejeki, dan kegembiraan untuk orang lain. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjadi pelaris tukang balon itu?
Dalam suasana pandemi sisa-sisa yang menunjukkan bahwa kita masih menjadi manusia normal adalah hati dan nurani kita. Hati yang penuh rasa welas asih tetap menyalakan api kehidupan. Hati yang penuh cinta saya rasa tidak terkoyak oleh badai pandemi.
Di masa pandemi, kadang kita membeli yang tidak kita perlukan, tetapi diperlukan orang lain. Berbagi sekecil apa pun ternyata memberi efek domino. Rasa syukur, gembira, senang bisa menjalar kemana-mana. Tukang balon itu mengingatkan saya bahwa di tengah pandemi saat ini, kita perlu terlibat, berbuat sehingga menjadi berkat bagi orang lain. “Berbagi dan berbuat baik itu sederhana saja, kok,” celetuk anak saya sambil bermain balon. (Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari https://www.deviantart.com/queenmaharani/art/tukang-balon-82434692
Apiiikkk…. Adl
LikeLike
Makasih jeng
LikeLike
inspiratif Pak
LikeLike
Makasih banyak
LikeLike