Mendengar kata ‘takjil’ orang langsung akan berkonotasi dengan bulan suci Ramadhan bagi umat Islam. Kata inipun sudah jamak diartikan dengan hidangan untuk berbuka puasa bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa. Padahal sesungguhnya kata ‘takjil’ atau ta’jiil secara tekstual berarti ‘penyegeraan’. Menyegerakan berbuka puasa jika diartikan secara luas.
Namun bukan pemaknaan kata secara etimologis yang akan dibicarakan. Yang jelas kata ‘takjil’ ini selalu menyiratkan keberkahan dan kegembiraan suasana berbuka setelah menjalankan puasa seharian. Berkat ‘takjil’ ini juga menyatukan semua orang. Coba lihat di masjid-mesjid terutama yang berada di dekat jalan. Saat berbuka, biasanya orang-orang akan berkumpul untuk berbuka. Mereka tidak saling kenal. Mereka berasal dari segala penjuru. Ada sopir angkot, pemulung, tukang cendol, tukang parkir, pengendara motor. Sekat perbedaan itu lebur ketika merayakan buka bersama dengan menyantap ‘takjil’.
Suatu ketika ada seorang ibu yang kebetulan nonmuslim mengungkapkan keinginannya untuk ikut berbagi ‘takjil’ bagi warga yang menjalankan ibadah puasa. “Kalau saya ingin menyumbang ‘takjil’, apakah diperbolehkan? Apakah saya harus memasak sendiri, atau saya beri dalam bentuk uang saja ke saudara-saudara kita umat Islam? Biar tidak terjadi salah paham, maksud saya,” kata ibu itu.
Pertanyaan dan kekhawatiran yang dilontarkan ibu ini tidak salah. Apalagi jika ditilik dari kondisi bangsa Indonesia yang sedang rentan dijangkiti isu intoleransi, SARA, dan hal-hal lain berbau agama. Kondisi semacam ini memang rawan. Sekalipun itu merupakan niatan baik, bisa saja ‘digoreng’ untuk dijadikan alasan menghembuskan isu perpecahan atas nama agama.
Niatan tulus untuk sebuah kebaikan takkan luntur oleh kekhawatiran dan penolakan. Selalu ada jalan untuk mewujudkan kebaikan. Selalu ada ruang untuk menjejalkan sebuah titik terang di belantara kegelapan.
Ibu saya di kampung telah memraktikkan ini. Kearifan lokal dan kerukunan antaragama di kampung ternyata masih menaungi niatan baik semacam itu. Ibu saya bertahun-tahun selalu mendapat giliran untuk menyumbangkan ‘takjil’ ke masjid di kampung, meskipun ibu saya bukan beragama Islam. Ibu saya selalu membuat makanan terenak dalam beberapa rupa. “Ya, biar jadi berkah bagi banyak orang yang puasa,” demikian ibu saya selalu beralasan.
Capek, nyeri sendi, tak bisa berjalan normal, seolah menjadi risiko ‘menggembirakan’ yang harus selalu ditanggung ibu saya setelah membuat hidangan ‘takjil’. Apalagi ketika ibu saya melihat orang menghabiskan semua makanan itu dengan lahap.
Ketika ada niat baik yang penuh keiklasan, niscaya makanan pun akan terasa nikmat disantap. Tak ada syak wasangka jelek atau suudzon. Yang ada hanya husnudzon atau prasangka baik. Demikian yang terjadi dengan apa yang dialami ibu saya. Entah sudah tahun ke berapa ibu saya selalu tersenyum puas di halaman masjid di kampung saat melihat para tetangga menyantap hidangan ‘takjil’ yang dibuatnya dengan lahap dan penuh syukur. Niat baik dan ‘takjil’ nikmat sanggup melebur sekat-sekat primordial berbau agama. (Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari kumparan.com
👍👍👍
LikeLiked by 1 person
Makasih
LikeLike