Terorisme, sebuah pertunjukan kekerasan atau kelemahan?
Harari (2015:19-21) dalam bukunya yang fenomenal Homo Deus mengulas terorisme dengan metafora yang sederhana tapi dengan kedalaman makna. Teroris itu diibaratkan seekor lalat yang ingin menghancurkan sebuah toko China yang besar. Karena tidak merasa mampu, maka ia dengan cerdik memperalat seekor banteng. Lalat itu terbang dan masuk ke telinga banteng. Banteng yang merasa terganggu itu pun akan mengamuk dan pada akhirnya menghancurkan toko China itu. Analogi ini dipakai Harari untuk memotret terorisme yang dilakukan kaum fundamentalis Islam di Timur Tengah. Mereka bagaikan lalat yang membuat Amerika Serikat mengamuk dan menjatuhkan Saddam Hussein di Irak. Para teroris ingin menegakkan hukum rimba, namun terlalu lemah untuk melakukannya. Mereka hanya bisa memprovokasi sambil menunggu reaksi orang terhadap aksi terorisme.
Terorisme dan para teroris berhasil memancing dunia dan media untuk menampilkan aksi-aksi mereka dalam berita-berita di halaman depan. Situasi politik dan geopolitik pun berubah. Strategi provokasi para teroris rupanya telah berhasil memancing dunia untuk bereaksi berlebihan. Negara-negara, terutama yang adidaya, segera tampil untuk unjuk diri dalam upaya mengamankan, unjuk kekuatan dan keamanan dan bahkan invasi ke negara lain atas nama pengamanan. Padahal, Harari mengingatkan bahwa ada bahaya tersendiri ketika ada reaksi berlebihan untuk menangkalnya. Justru reaksi berlebih ini bisa menjadi ancaman keamanan yang lebih serius dibandingkan dengan terorisme itu sendiri.
Menurut data yang diungkapkan Kapolri, di Indonesia terjadi peningkatan aksi terorisme dari 12 aksi di 2017 menjadi 17 aksi di 2018. Sudah ada 396 pelaku teror yang ditangkap. Dari jumlah itu 141 orang menjalani persidangan, 204 dalam penyidikan, 25 tewas karena penegakan hukum, 13 orang bunuh diri dan yang sudah divonis hukuman 12 pelaku (Widowati, 2018).
Banyak negara lalu berpikir mengenai cara efektif untuk mengatasi aksi-aksi kejam para teroris di masa depan. Brassett, (2009: 148-150) menyampaikan pendapat bahwa hukum kosmopolitan, demokrasi partisipatif dan keadilan global sebagai wujud pendistribusian kesejahteraan dari negara kaya ke negara miskin. Hal ini sangat dimungkinkan karena akar dari terorisme menurut Brassett adalah diskriminasi (discrimination), sikap yang merendahkan (humiliation), dan penderitaan yang tak perlu (unnecessary suffering) sehingga membelenggu kebebasan dan menciptakan keresahan di dunia. Maka muncullah dikotomi antara kosmoplitanisme sebagai warga kosmopolitan yang beradab dan terorisme sebagai warga barbar. Kosmopolatanisme menjadi konstruksi masyarakat global yang koheren dan bersatu.
Namun, terlepas dari upaya untuk mengatasi aksi terorisme, Harari berpendapat bahwa terorisme pada dasarnya merupakan pertunjukan kekerasan dan kengerian yang menggiring imajinasi orang untuk kembali ke masa-masa kacau di abad pertengahan. Jika hukum rimba kembali diberlakukan, menurut Harari, hal itu merupakan kesalahan pihak lain yang bereaksi berlebihan terhadap aksi terorisme.
Sekularisme versus “Syariah”-isme
Sub judul ini meminjam istilah Wibisono (2012). Ia menggambarkan fenomena politik global yang ditulis tujuh tahun silam masih selalu aktual dengan situasi saat ini, yaitu paham sekularisme versus ‘syariah’-isme. Elaborasi kedua ‘isme’ ini bisa ditarik derivasinya ke kemunculan atau kebangkitan ‘isme’ yang lain, yaitu terorisme. Dunia sekarang sedang mengalami konflik tiga dimensi antara manusia sebagai warga manusia, manusia sebagai warga negara dan manusia sebagai warga agama (ibid. hlm 343). Setelah paham fasisme dan komunisme hancur, kini muncullah senjata pemusnah masal baru ketika manusia sekarang masuk dalam perang agama, karena derajat teror dan pemusnahan jiwa manusia yang lebih mengerikan. Tuhan telah dijadikan maskot berhala untuk melegitimasi pembunuhan dan perang atas nama agama. Negara dan agama diperalat untuk saling membunuh dan menguasai karena fanatisme dan rasisme yang kehilangan rasionalitasnya sebagai manusia.
Dalam konteks sekularisme, sistem politik masyarakat dan negara yang sekuler yang mengadopsi demokrasi modern akan lebih menghargai dan menghormati hak asasi manusia, kebebasan, kesukuan, pluralisme dan keyakinan individu. Sistem politik sekuler ini seharusnya dapat menjamin pluralisme agar tidak direcoki oleh paham fanatis dan model teokratis abad pertengahan yang berujung pada perang agama (ibid. hlm 364-72). Esensi sekularisme menempatkan dan menghormati Tuhan di atas semua agama dan golongan.
Sementara, ‘syariah’-isme, yang tidak melulu merujuk pada agama Islam, adalah paham yang dianut rezim politik yang mencampurkan negara dan agama. Penguasa politik menggunakan agama dalam absolutisme rezim politik yang dapat berbuat semena-mena, antipluralitas untuk menyingkirkan segala bentuk ketidakbenaran sekuler atas nama Tuhan. Paham ini ingin melawan dominasi negara sekuler yang gagal membimbing warga negara pada tatanan yang sesuai jalan Tuhan (Juergensmeyer, 2000: 300-07). Kaum fanatik agama itu mengalami kekecewaan dan keputusaasaan terhadap para pemimpin sekuler. Inilah yang kemudian melegitimasi perlawanan dan pemaksaan paham agama melawan politik negara sekuler yang kemudian memunculkan kekerasan atau terorisme atas nama agama.
Ada bentuk keagamaan baru yang menjadi simbol perlawanan terhadap pemimpin sekuler yang dianggap tiran (Wibisono, 2012: 369; Juergensmeyer, 2000:300). Para pemimpin spiritual agama menggunakan bahasa agama tradisional sebagai sebuah benteng pertahanan untuk menghadapi gempuran dan ancaman aspek modernitas. Agama dipaksakan menjadi solusi untuk keluar dari kehinaan kehidupan modern dan demokrasi modern. Hilangnya keyakinan dalam bentuk ideologi kebudayaan dan nasionalisme sekuler muncul dari kekecewaan terhadap nilai-nilai Barat modern (Juergensmeyer, 2000). Hal ini memunculkan ideologi-ideologi keagamaan sebagai alternatif bagi modernitas politik ketika otoritas politik sekuler dipertanyakan. Hal ini pula yang dipakai untuk menentang dan menggantikan suatu otoritas dengan membawa-bawa agama. Terorisme agama menjadi wajah kekerasan bagi para pembela agama untuk menarik perhatian otoritas publik. Mereka ingin memperjuangkan perubahan revolusioner dengan mengedepankan tatanan sosial yang bersifat ilahiah terhadap demokrasi modern yang egaliter. Otoritas agama bahkan sudah meyiapkan penggantian pemimpin sekuler didasarkan pada agama. Para pembela agama pun bergerak atas nama agama dengan klaim atas tatanan moral sebagai landasan tatanan publik. Pemaksaan proses inilah yang memunculkan kekuatan teror.
Terorisme merupakan strategi kelemahan yang dipilih oleh orang-orang atau kelompok yang tidak memiliki akses pada kekuasaan riil (Harari, 2015). Dulunya terorisme menebarkan ketakutan. Namun sekarang terorisme selalu menargetkan kerusakan material dan jiwa manusia. Bahkan renaissance, aufklarung yang memberi pencerahan di Eropa untuk memisahkan negara dan agama pun tak mampu membendung hasrat para pembela agama untuk menguasai tatanan politik negara sekuler. Tidak mengherankan ketika salah satu terduga teroris yang ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri (dari sekitar 29 terduga teroris) menjelang pengumuman resmi hasil Pemilu 2019 pada 21 Mei 2019 mengatakan bahwa mereka siap berjihad dan melakukan bom bunuh diri, karena demokrasi dianggap sebagai musrik akbar. Dari sejarahnya, terorisme memang muncul untuk digunakan sebagai alat serta taktik perjuangan militer, politik, ekonomi dan agama.
Perspektif psikologi politik
Robin Gerrits yang dikutip dalam Terrorism and the Media (2008) mengatakan bahwa menggarisbawahi fokus psikologis para teroris yang lebih memedulikan cara untuk menurunkan moral para musuh seperti pemerintah, unjuk kekuatan dan mencari simpati dengan menciptakan ketakutan dan kekacauan melalui media. Dalam buku yang sama, Yonah Alexander (1979) menyatakan bahwa kelompok teroris punya tiga tujuan utama yaitu mencari perhatian, pengakuan dan legitimasi yang bisa diperoleh dari media.
Baumeister (1997 yang dikutip Cotam, 2004: 266) mengatakan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan ekstrimis hampir selalu dilakukan oleh kelompok, bukan perorangan. Ketika orang membunuh orang lain untuk mengangkat harga dirinya, pembunuh itu akan mendapat sokongan dan dukungan dari kelompok yang memiliki keyakinan sama. Apa yang dilakukannya pun dianggap sebagai bagian dari kelompoknya. Namun kalau orang itu beraksi sendiri, maka orang itu bisa dicap sebagai oknum yang membahayakan. Namun pendapat ini terbantahkan dengan fakta saat ini ketika aksi terorisme telah berubah dari jaringan ke sel otonom dan aksi perorangan. Evolusi ini memunculkan istilah baru lone wolf (Burke, 2017 yang dikutip Kuncahyono, 2019) sebagai aksi terorisme tanpa pemimpin atau perlawanan tanpa pemimpin (leaderless resistance). Terorisme jenis ini tergambar dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang yang meradikalisasikan diri untuk memperjuangkan ideologinya sendiri melalui serangan dan teror. Tindakan terorisme sesungguhnya merupakan tindakan simbolis karena target para teroris adalah simbol-simbol negara, norma, atau tatanan sosial. Perjuangan mereka mencapai tujuan politis dan ideologis itu yang diwujudkan melalui kekerasan yang sistematis (Cottam, 2004:234).
Ilmu psikologi selalu berusaha menggunakan analisa atau pendekatan kepribadian untuk menganalisa perilaku seseorang. Namun dalam konteks psikologi politik, Crenshaw (2000 yang dikutip Cottam, 2004: 225) dengan tegas mengatakan bahwa teroris tidak memiliki kepribadian. Sebagian besar pengamat terorisme berpendapat bahwa perilaku teroris itu tidak ada kaitannya dengan kepribadian atau perbedaan jenis kelamin. Terorisme terutama dikaitkan dengan kegiatan kelompok. Jadi terorisme atau perilaku teroris bukan hasil dari psikopatologi atau jenis kepribadian tunggal. Justru komitmen ideologis bersama dan solidaritas kelompok menjadi faktor yang jauh lebih penting sebagai penentu perilaku teroris daripada karakter individu. Para teroris bertindak jahat berdasarkan kognisi dan bukan emosi, meskipun hati dan kepala saling terkait. Orang yang tumbuh di tengah kekerasan dan kekejaman jauh lebih rentan terhadap ideologi yang menganggap manusia tidak ada harganya (dehumanize) dibanding dirinya (Begley dikutip Cottam, 2004).
Dalam konteks ini, Indonesia yang dikenal sebagai sarang terorisme menjadi tempat untuk mengatur strategi pengeboman dan eksekusinya. Mereka menghalalkan segala cara (Haryatmoko, 2014 yand dikutip oleh Widyaningrum & Dugis, 2018) yang justru menumpulkan nurani. Bagaimana tidak, orang lain hanya dianggap sebagai sarana dan alat kepentingan diri dan kelompoknya demi memperjuangkan kepentingan politik dan ideologi yang mereka yakini sendiri.
Bentuk ekstrim dari dehumanisasi ini adalah pola yang mencari kambing hitam, yaitu kelompok masyarakat yang dituduh sebagai biang dari segala penyakit sosial. Misalnya dalam kondisi sosial ekonomi dan politik yang)terpuruk, kambing hitam ini akan lebih gampang teridentifikasi. Dalam kondisi semacam itu akan ada semacam cetak biru ideologis tentang dunia yang lebih baik sekaligus ada musuh yang harus dihancurkan untuk mencapai ideologi tersebut. Karena itu, mereka layak diperlakukan bukan lagi sebagai manusia. Dalam kondisi semacam ini, membenci musuh dianggap sebagai keutamaan atau sikap yang mulia bagi para anggota kelompok yang mengagungkan kekerasan (Cottam, 2004: 266).
Dalam artian luas, teroris adalah mereka yang menganut paham ekstrem berlebihan atau ekstremis. Ekstremis adalah orang yang punya kepedulian berlebihan terhadap tujuan hidup tertentu dengan interpretasi yang sangat subyektif terhadap dunia di sekitarnya (Taylor, 1991 seperti dikutip Cottam, 2004: 223-4)). Pandangan dan perspektif ekstrem ini sangat gampang dipengaruhi oleh ideologi yang dipercayai dengan keyakinan buta tanpa peduli aspek sosial, politik atau personal yang seharusnya dapat mengendalikan perilakunya. Ekstremis, seperti halnya teroris, hanya berkutat dengan perilaku mereka sendiri dan konstruksi ideologis mereka tentang dunia. Wajar kalau mereka sudah tidak peduli nyawa orang lain. Mereka sangat percaya dengan kebenaran yang mereka yakini meskipun ada kebenaran lain yang lebih benar.*** (Wahyudi Sunarwan)
Referensi
_______. (2008). Terrorism and the Media. Deliverable 6, Workpackage 4 financed by the European Commission under Sixth Framework Programme.
Brasset, James. (2009). Cosmopolitanism vs terrorism? p.148-163 dalam Terrorism and the Politics of Response. USA: Routledge.
Cottam, Martha., et. al. (2004). Introduction to Political Psychology. London: Lawrence Erlbaum Associates.
Harari, Yuval N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.
Houghton, David P. (2009). Political Psychology: Situations, Individuals, and Cases. New York: Routledge.
Juergensmeyer, Mark. (2000). Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Jakarta: Nizam Press & Anima Publishing.
Lay, Cornelis. (2009). Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 13, No. 1, Juli 2009, hlm. 1-19.
Wibisono, Christianto. (2012). Gerhana Hati Nurani. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Widowati, Hari. (2018). Jumlah Pelaku Teror yang Berhasil Diungkap Selama 2018 Sebanyak 396 Orang. Artikel yang diambil dari https://m.katadata.co.id/berita/2018/12/27/kapolri-aksi-terorisme-meningkat-selama-2018 yang diakses pada 24 Juni 2019.
Widyaningrum, A. Y., & Dugis, N. S. (2018). Terorisme Radikalisme dan Identitas Keindonesiaan. Jurnal Studi Komunikasi, Vol. 2, Ed. 1, Maret 2018, hlm. 32-67.
*Artikel ini dibuat sebagai sebuah tugas paper untuk Mata Kuliah Komunikasi dan Psikologi Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi Politik, Program Pascasarjana Jurusan Komunikasi, Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Juni 2019
Photo credit: nasional.kompas.com
Leave a Reply