KELINGKING BAHASA HATI
Alkisah ada seorang putri raja yang sedang menanti-nantikan pangeran pujaan hatinya. Sang pangeran pergi ke medan laga. Sudah berminggu-minggu ia tidak ada kabar beritanya. Sang putri ingin mengetahui keberadaan dan kabar suaminya itu. Namun sia-sia.
Hari berganti hari. Semua berjalan dalam kesendirian. Sang putri sungguh merindukan kehadiran suaminya. Malam semenjak kepergiaannya selalu dilewatkan dalam kesepian dan penantian tak berujung. Ia mohon petunjuk Dewata agar segera mengetahui kabar dan keberadaan suaminya.
Segala cara sudah dilakukannya untuk mencari sang pangeran. Ia bertanya ke seluruh pelosok negeri. Tak kurang Raja pun mengumumkan pencarian menantunya yang hilang. Namun sia-sia.
Akhirnya untuk mengusir kesepiannya, sang putri berjalan menyusuri jalan-jalan di kerajaan itu. Setiap kali berpapasan dengan orang sang putri selalu mengacungkan jari kelingkingnya. Banyak sekali pemuda dan bangsawan yang menaruh hati pada kecantikan sang putri yang gundah itu. Maka banyak sekali yang menafsirkan acungan kelingking sang putri itu sebagai tawaran, ajakan, dan bahkan rayuan. Banyak di antara mereka memasukkan cincin bertahtakan berlian di kelingking sang putri. Namun tak satupun yang berkenan di hati sang putri.
Suatu kali dilihatnya seorang pengemis dengan pakaian lusuh terduduk di pinggir jalan. Ketika melihat sang putri mengacungkan jari kelingkingnya, kontan si pengemis itu bergegas berdiri dan menghampiri sang putri. Tanpa ragu, si pengemis itupun mengaitkan kelingkingnya ke jari kelingking sang putri.
Sang putri terhenyak kaget. Lalu ditatapnya lekat-lekat muka si pengemis. Tak salah lagi, dialah sang pangeran pujaan hati yang dirindukannya setiap malam. Lalu dipeluknya sang pangeran, dan diajaknya kembali ke istana. Rupanya sang putri dan pangeran itu mempunyai bahasa tubuh untuk mengkomunikasikan hati mereka. Yaitu dengan saling mengaitkan kedua jari kelingking mereka. Itulah bahasa cinta mereka.
Jari kelingking secara fisiologis sering dipandang sebagai jari terkecil dari kelima jari manusia. Dalam bahasa kiasan, sering jari kelingking dimaknai sebagai tanda bahwa sesuatu mudah dan kecil. Remeh dan tak berarti. Ada pula orang, apalagi anak kecil, yang memaknai pertautan dua kelingking yang berbeda itu sebagai tanda perdamaian. Rekonsiliasi antara dua benteng keakuan.
Seorang pencari makna hidup pernah bercerita bahwa ia menggunakan jari kelingking itu untuk sebuah perkara besar. Sang pencari makna hidup itu saling berjanji dengan istrinya bahwa setiap kali mereka bersilang pendapat dan tidak akur, cepat atau lambat mereka harus berdamai. Perselisihan itu tidak boleh berlangsung terlalu lama. Caranya bukan dengan kata maaf atau kata-kata lain yang menyerukan perdamaian. Caranya hanya dengan saling mempertautkan jari kelingking mereka.
Lebih mudah menggandeng tangan pasangannya daripada mempertautkan kelingking itu. Saling bergandeng tangan adalah bahasa lumrah untuk mengungkapkan kedekatan, keakraban, rasa sayang. Tapi mempertautkan kelingking jauh lebih berat. Ada pengorbanan dari kedua belah pihak. Dan pengorbanan terbesar adalah mengalahkan ego dan keakuan masing-masing pribadi. Jelas ini bukan perkara mudah bagi semua pasangan suami istri. Mengalahkan ego, mengampuni dan meminta maaf kadang bukan masalah sederhana. Pertautan dua jari kelingking itu akan menjadi tanda robohnya kesombongan.Gampang diucapkan, tapi sulit untuk dilaksanakan.
Ketika dua jari kelingking itu dipertautkan, maka lumerlah kekakuan dan keangkuhan hati. Semua luruh dalam kerendahanhati seperti jari kelingking yang selalu diremehkan. Air mata kesombongan akan meleleh, membasahi pipi yang mendambakan kedamaian. Betapa berat rasanya memulai sikap rendah hati, memaafkan, dan mengampuni. Namun jari kelingking akan menjadi bahasa hati yang sederhana, tapi sarat akan makna.*** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: alamy.com
Leave a Reply