Merajut Harapan di Sela Kebun Sawit
Di pinggir jalanan berbatu dan berdebu, tampak tenda-tenda biru berdiri berserak di sepanjang areal perkebunan sawit milik PT Kresna Duta Agroindo dari Sinar Mas Group. Lokasi ini berada sekitar 5-6 jam dari Jambi ke arah perbatasan Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun.Tenda-tenda itu dihuni oleh beberapa orang yang terlihat sedang duduk-duduk. Tenda beratap kain terpal biru itu hanya berjarak sekitar 20an meter dari pinggir jalan.
Begitu dilihat dari dekat, ternyata ada kurang lebih 30 orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Pakaian mereka kumal. Bahkan anak-anak kecil banyak yang tidak berpakaian. Para perempuan dewasa bahkan memakai kain sekedar menutup aurat. Rambut mereka pun tampak kumal dan berantakan. Lumut, tanah becek, sampah makanan, dan kelembaban hutan sawit sekitar tenda itu pun menyebarkan aroma tak sedap. Aroma itu begitu kuat baunya sekalipun di ruangan terbuka. Rumah tenda, atau sudung dalam bahasa Orang Rimba, itulah yang menjadi tempat mereka tidur di kala malam. Rumah tenda tanpa dinding itu didirikan dengan konstruksi seadanya di antara kelebatan pohon-pohon sawit yang telah berumur sekitar 20an tahun.
Di jalan lintas Sumatera, tepatnya di Desa Pelakar Jaya, Sorolangun, di areal kebun sawit milik PT Kresna Duta Agroindo (Sinar Mas Group) Sargawi tinggal bersama dengan kelompoknya. “Sudah lebih dari dua puluh tahun kami tinggal di tempat ini,” ujar pria paruh baya dengan raut muka muram. “Dari lahir kami Orang Rimba sudah tinggal di sini. Tapi semenjak ada sawit ini, hutan kami dibabat habis semua. Kami tidak bisa lari kemana-mana, karena inilah tempat kami.”

Sargawi bertanggung jawab pada sekitar 21 bubung atau Kepala Keluarga (KK) yang beranggotakan 66 jiwa di kelompoknya. Dari kelompok besar itu terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan antara 2 sampai 7 bubung. Pembagian ini lebih didasarkan pada distribusi sumber daya kehidupan mereka ketika mereka mendapat makanan.
“Mata pencaharian kami sekarang sudah tidak ada. Sekarang kami menjadi pemulung. Itupun kami masih selalu terancam,” kata Sargawi di tengah-tengah anggota kelompoknya yang kebanyakan anak-anak di bawah 10 tahun dan perempuan. Ia mengisahkan bahwa kebanyakan para perempuan dan anak-anak itulah yang kadang mencari barang bekas di pemukiman warga desa di sekitar perkebunan.
“Kami sudah mengumpulkan barang bekas dua hari ini, tapi baru dapat 2 kilo,” katanya sembari menuang barang-barang bekas seperti bekas kaleng minuman, aluminium, dan plastik. Harga sekilo barang rongsok hanya laku Rp3.000 di tangan pengumpul barang. Padahal harga beras setidaknya Rp10.000 per kilo. “Kalau begini anak-anak kecil itu mau makan apa?” sesal Sargawi.
Semenjak perusahaan perkebunan sawit masuk pada tahun 1980an, hidup Sargawi dan kelompoknya menjadi sengsara secara ekonomi dan sosial. Penghidupan mereka benar-benar hilang. Sargawi adalah salah satu kelompok dari empat Orang Rimba yang terbuang yang tetap tinggal di areal perkebunan itu. Ia mengenang bahwa dulu mereka masih bisa hidup dari hutan karena mereka bisa berburu, mencari roan, damar, jernang, buah-buahan. “Berburu masih kami lakukan. Tapi belum tentu kami mendapat seekor babi dalam satu minggu,” katanya. Menurutnya, daging babi hutan itu laku Rp25.000 di pasar per kilogram. Kalau beruntung, mereka mendapatkan daging babi hutan 20 kilogram dalam satu perburuan. Hasil penjualan daging itu pun masih harus dibagi rata dengan 6 orang yang berburu.
Ironisnya, mereka bahkan dilarang mengambil rontokan biji buah sawit, yang biasa mereka sebut brondol, di sekitar tempat tinggal mereka. Sebenarnya, biji brondol itu dapat dijual Rp1.000 per kilonya. “Kami dilarang mengambil brondol itu oleh perusahaan. Kalau dilanggar, kami akan didenda Rp5.000.000 juta. Uang darimana kami dapat, sedang untuk makan pun kami susah,” kata Sargawi.
“Kami sudah tidak tahu lagi bagaimana kami hidup. Di desa kami diusir. Di kebun kami diawasi penjaga-penjaga perusahan. Berburu sudah sulit. Kami tidak punya lagi harapan ke depan,” imbuh Sargawi. Beberapa pria dewasa di kelompok Sargawi mengiyakan bahwa kehidupan mereka selalu terancam. Hilangnya daya dukung ekologis itu juga membuat mereka rawan terhadap gesekan sosial denan para transmigran dan masyarakat Melayu. Budaya berburu dan meramu yang sudah mendarahdaging di Orang Rimba kadang menjadi batu sandungan bagi masyarakat sekitar. Mereka dianggap pencuri hasil kebun atau buah-buahan penduduk.
“Kalau pemerintah memikirkan nasib kita Orang Rimba, bolehlah kami diberi tanah untuk tinggal demi masa depan kami. Kalau memang bisa, kami dilatih atau diberi pekerjaan yang tidak merugikan orang lain. Kami bisa bertani tetapi kami tidak punya lahan,” kata Sargawi.
Menurut survei KKI Warsi pada 2013, ada empat kelompok Orang Rimba yang terbuang, yaitu Kelompok Sargawi di Desa Pelakar Jaya, Kelompok Roni di Sei Belenggo, Bangko Barat, Kelompok Mansur di Desa Pauh Menang, dan Kelompok Nungkai di SPC Pamenang. Keempat kelompok yang jumlahnya sekitar 65 bubung dengan 230-an jiwa itu berada enam Satuan Pemukiman (SP) A, B, C, D, E, dan F di daerah Pamenang, Kabupaten Sarolangun.
Mereka mau dipindah kemanapun agar mereka tetap hidup. “Kalau membaca dan menulis, kami tidak bisa. Tapi kalau diajari memakai parang dan bekerja, kami bisa,” kata Sargawi penuh harap. Sementara itu, beberapa orang tua dan pria dewasa berjongkok di sekitar Sargawi sambil menatap barang bekas berserakan yang tak sampai sekarung kecil. Di belakangnya para perempuan dewasa, dan anak-anak yang sebagian tidak berpakaian itu hanya berjongkok, sambil memandang kerapatan batang-batang sawit berlumut di sekitarnya. Mereka tak tahu lagi bagaimana mereka akan makan hari itu. *** (Leo Wahyudi S)
*Artikel ini pernah diterbitkan di website resmi Badan Pengelola Reduksi Emisi, Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP REDD+) pada Februari 2014.
Photo credit: Leo Wahyudi S
Leave a Reply