Dulu banyak bank di Indonesia berlomba untuk mendapatkan nasabah terbanyak agar memperoleh penyaluran kredit. Caranya pun bermacam-macam. Salah satunya yang biasa dilihat adalah kemudahan orang untuk mendapatkan kartu kredit.
Lalu di pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar, banyak konter dadakan yang dijaga oleh beberapa orang. Mereka berpenampilan menarik. Mereka menyapa setiap pengunjung pusat perbelanjaan sambil menyodorkan leaflet. Mereka sedang berusaha menjajakan dagangannya, kartu kredit.
Jurus-jurus jitu penebar harapan pun dilontarkan dengan beragam cara. Mereka rata-rata bermulut manis, demi mendapat nasabah. “Pak, mari silakan coba. Nanti bapak akan mendapat kemudahan. Bapak akan bisa belanja apapun dengan mudah. Cicilannya pun ringan. Bunganya juga rendah kok, Pak. Limit kreditnya juga tinggi lho, Pak…bla … bla… .”
Semua pengunjung didekati. Ada yang berhenti mendengarkan sambilmembaca leaflet. Ada yang tak acuh dan tetap melenggang tanpa peduli. Ada yang menolak secara halus. Tak sedikit pula yang akhirnya terkena rayuan para sales kartu kredit itu.
Tak ada yang salah dengan situasi itu. Ada yang dijual pasti ada yang membeli. Sebuah proses yang wajar. Namun saya tidak pernah lagi tertarik untuk memiliki kartu kredit. Pasalnya saya pernah memiliki pengalaman buruk yang meninggalkan rekam jejak yang buruk pula di dunia perbankan. Bahkan nama saya kala itu tercatat di Bank Indonesia sebagai nasabah wanprestasi dan target operasi para penagih utang, debt collector.
Bukan salah kartu kredit yang saya miliki. Tetapi salah tangan saya yang suka menggesek kartu kredit sembarangan. Hanya demi nafsu hedonis. Membeli bukan untuk kebutuhan, tetapi untuk keinginan. Itu hak saya sebagai nasabah. Tetapi, masalah muncul ketika saya melupakan kewajiban untuk membayar kredit itu.
Saya bayangkan Tuhan pun bisa berakting seperti sales kartu kredit. Beliau menawarkan segala kebaikan dan keutamaan hidup. Semua free alias gratis. Kita boleh menikmati kehidupan sesuka hati kita. Kita diberi hak untuk membeli secara kredit kebutuhan dan keperluan, termasuk keinginan, hidup kita. Rumah, pekerjaan, keluarga, kekayaan, kemuliaan, ketenaran, kesenangan, termasuk kenikmatan duniawi lain demi memuaskan hasrat kemanusiawian kita. Semua bebas. Tinggal gesek, kita mendapatkannya.
Bedanya, dengan kartu kredit dari bank, kita bisa mendapatkan barang yang kita inginkan secara instan. Kalau kartu kredit versi Tuhan, tidak ada yang instan. Perlu proses pengiriman sebelum menjadi kenyataan. Wajarlah, karena kartu kredit ini gratis. Wajar kalau pengirimannya suka-suka pemiliknya.
Semua transaksinya tercatat rapi di buku kehidupan. Semua hak kita dipenuhi, sepenuh-penuhnya. Tuhan menjamin kepuasan nasabah. Kalau sampai nasabah tidak puas, berarti kemungkinan kita salah gesek, atau salah pilih barang, atau salah pilih kenikmatan.
Masalahnya, setelah hak kita dipenuhi, apakah kita juga ingat akan kewajiban kita? Kewajiban kita tidak berat. Hanya percaya dan selalu mengandalkanNya dalam setiap sendi kehidupan. Mengutamakan segala kebaikan yang diajarkan Sang Maha Baik. Membayar bunga-bunga kebaikan sebagai cicilan-cicilan yang kita bayarkan. Apakah kita mau menjadi nasabah wanprestasi yang dicatat di bank penerbit kartu kredit Tuhan tadi? Kalau sampai kita lupa kewajiban kita, maka Tuhan sudah mempersiapkan para debt collector yang sewaktu-waktu bisa datang dan menagih kekurangan bayar kita.(Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari pilihkartu.com