BAHAGIA DI TENGAH CORONA?
Kemarin seorang sahabat mengirimkan saya sebuah gambar seorang bocah sedang makan sepotong buah semangka dengan lahapnya. Lalu di bawah gambar itu tertera tulisan “Happiness is not having what you want. It is appreciating what you have.” Saya pun tergelitik untuk mencoba merenungkannya. Rasanya pas merenungkan kata bahagia di tengah musim corona ini.
Bagi sebagian orang yang skeptis dan mungkin tidak bahagia, pasti akan langsung bereaksi dengan dua kata paradoks untuk saat ini, bahagia dan corona. Menderita kok bahagia, begitu asumsinya. Tapi ada sesuatu yang bisa dipelajari dan dimaknai.
Saya lalu teringat sebuah kisah yang pernah dituturkan seseorang yang mengeluhkan pasangannya. Secara ekonomi orang ini sudah amat sangat mapan. Punya harta berlebih dan keluarga utuh. Tapi kemapanan itu tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Pasalnya, pasangannya ternyata hidup dengan pola pikir dan gaya hidup yang aneh. Ia selalu minta jatah kepada suaminya setiap bulan. Puluhan juta rupiah jumlahnya. Dan, itu hanya untuk dihabiskan sendiri. Tanpa pernah berpikir untuk mengelola uang itu untuk rumah tangga, anak-anak, asisten rumah tangga. Murni untuk bersenang-senang dan berbelanja. Itupun selalu masih kurang.
Usut punya usut, ternyata sang istri bergaul di kalangan ‘jetset’. Kalangan orang kaya yang hidupnya bersenang-senang dalam kemewahan. Alhasil, sang istri selalu mengalami kehausan akan harta dan kemewahan yang tak berujung. Rasanya selalu kurang terus. Begitu habis, merengek dan mengamuk kepada pasangannya agar diberi jatah lebih. Demikian terjadi terus. Ada rasa iri yang terus memicunya agar selalu berpacu dengan teman dan tetangganya. Rasa iri hati dengan kendaraan harta itu selalu dipacu dan tak pernah berujung.
Beruntung, masa pandemi corona atau Covid-19 ini agak mengerem laju dan nafsu untuk berpacu bersama rasa iri itu. Namun, apakah kemudian orang itu bahagia di tengah corona? Ternyata tidak. Pikirannya masih melayang untuk mencari mangsa rasa irinya. Lalu bersiap tancap gas untuk memuaskannya saat masa swakarantina dilonggarkan.
Di situasi seperti sekarang ini, kita sendiri juga kadang bingung dan malu mengakui, apakah kita juga merasakan kebahagiaan? Apalagi saat semua aktivitas harus dilakukan di rumah seperti sekarang ini. Sepertinya kata bahagia dan kebahagiaan menjadi sesuatu yang aneh dan mungkin absurd. Di tengah penderitaan massal kok disuruh bahagia.
Bahagia ternyata bisa dikondisikan karena itu berasal dari sebuah sikap hati. Bukan rangkaian reaksi dari faktor eksternal, tetapi dari internal. Relung terdalam hati kita sendiri dalam menyikapi situasi atau kondisi. Cara menyikapi agar bahagia mungkin ditunjukkan oleh gambar dari teman saya tadi. Anak yang makan semangka dengan nikmat. Kebahagiaan bukan karena kita memiliki semua yang masih kita inginkan. Kebahagiaan muncul ketika kita mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Persis seperti anak yang menikmati semangkanya.
Orang bijak pernah berkata, “Orang akan bertemu dengan kebahagiaan ketika ia berhenti membandingkan dirinya dengan orang lain.” Saya pikir ini benar. Ketika kita membandingkan diri dengan orang lain, entah dalam hal apapun, yang muncul adalah iri hati. Iri hati menjerumuskan kita pada keserakahan dan ketamakan tak berujung. Kalau sudah demikian, kita selalu merasa tidak punya. Padahal kita sebenarnya sudah punya banyak sekali untuk disyukuri. Ketika ada syukur dengan yang kita miliki, sejelek atau sesederhana apapun, maka kebahagiaan akan menghampiri dan memeluk kita. Tidak peduli dengan corona, bahagia tetap akan ada.*** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: timesofindia.indiatimes.com
Leave a Reply