Opinion

DPD, Sekedar Mimpi atau Representasi Desentralisasi?

Ketika bertemu beberapa elemen masyarakat terdidik dan menanyakan tentang Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kebanyakan menggelengkan kepala, tanda tak tahu. Jangankan soal peran dan fungsinya, masih banyak yang lupa atau bahkan tidak tahu apa kepanjangan DPD. Hal ini sungguh mengejutkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang menjadi konstituen dan pemegang kedaulatan tertinggi dalam tatanan negara tetapi tidak tahu-menahu para wakilnya. Padahal sebagian besar orang yang ditanya merupakan pemilih para wakil rakyat dalam Pemilu 2019 silam yang nota bene mungkin mereka coblos .

DPD yang lahir dari Fraksi Utusan Daerah (FUD) DPR bertransformasi menjadi DPD pada 2004 setelah dilakukan amandemen UUD 1945 (Razi, 2018). Namun DPD menurut pakar hukum tata negara Saldi Isra (2017) memiliki posisi yang serba tanggung. DPD dibentuk untuk menjalankan fungsi legislasi yang menghubungkan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun ternyata realisasinya hanya memiliki kewenangan terbatas. Sesuai amanat Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, DPD hanya “dapat mengajukan” dan “ikut membahas” rancangan undang-undang (RUU). Dalam konteks RUU yang menyangkut anggaran belanja negara, pendidikan, perpajakan, DPD hanya boleh memberikan pertimbangan (Isra, 2017). DPD dengan fungsi legislasinya hanya sebatas itu dan tidak boleh ikut dalam pengambilan keputusan, apalagi fungsi pengawasan (Saputra, 2018).

Ada perbedaan “kelas” di dalam lembaga perwakilan rakyat DPR dan DPD. Publik lebih mengenal DPR, bukan DPD. Padahal kinerja para wakil rakyat di DPR sangat belum memuaskan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang diwakilinya. Padahal justru DPD-lah yang seharusnya memiliki relasi politik yang lebih dekat dengan rakyat, terutama di daerah pemilihan yang diwakilinya. Rakyat mengharapkan DPD menjadi solusi praktik desentralisme (Saputra, 2018) yang direalisasikan menjadi otonomi daerah. DPD-lah yang seharusnya mengenali dan mengerti apa yang sesungguhnya diperlukan oleh rakyat dalam tatanan negara. Merekalah yang tahu apa yang dialami rakyat di daerah dengan kekayaan sekaligus ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi.

Ketika rakyat harus memilih wakilnya di DPD pun mereka hanya terpaksa ‘nyoblos’ daripada dianggap ‘golput’. Ketika ditanya apakah mereka kenal orangnya, sebagian besar kalau tidak seluruhnya, mengaku tidak mengenal gambar siapa yang dicoblos. Apalagi tentang visi dan misi, latar belakang, rekam jejak anggota DPD yang dicoblosnya. Pemungutan suara para wakil rakyat hanya menjadi sebuah seremoni kepentingan politik para wakil rakyat dan kewajiban politik warga negara. Interaksi para wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya pun nyaris nol alias tidak ada. Wajarlah kalau rakyat hampir tidak mengenal bahkan tidak mendengar tentang DPD sebagai perwakilan mereka di lembaga legislatif. 

Menghidupkan marwah representasi

Tak kenal maka tak sayang. Pepatah ini menemui kebenarannya antara publik dan eksistensi DPD. Apalagi ketika melihat sengkarut para wakil rakyat dan kinerjanya yang terjadi sekarang, diperlukan upaya untuk menghidupkan kembali DPD agar lebih dikenal dan lebih dekat kepada rakyat yang diwakilinya. Menghidupkan amanah representasi terkait fungsi dan peran DPD sudah mendesak agar DPD tidak sekedar menjadi mimpi dan imaji yang hampa. Parlemen merupakan badan yang berkembang dan dinamis sifatnya sehingga sifatnya yang mewakili tidak hanya lewat kelembagaan tetapi juga melalui proses yang membentuknya sekaligus yang memberikan pengaruh melalui pola tindak, ruang negosiasi politik. Dengan demikian sifatnya yang dinamis ini akan memberikan ruang dengan budaya yang khusus yang menyosialisasikan partisipasi melalui kinerja mereka ( Rai dan Johnson, 2014).

DPD yang ala senator ini sudah selayaknya dikenal publik, sekalipun fungsi dan perannya tidak sekuat DPR. Namun DPD yang berasal dari pencalonan independen empat orang untuk mewakili setiap provinsi di Indonesia ini harus dikembalikan marwah politiknya di kancah tatanan negara Indonesia. Bagaimanapun DPD merupakan amanah konstitusi yang sah sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat. DPD harus memperjuangkan keberadaannya yang menurut Razi (2018) sebagai anak kandung parlemen.

Perlunya political branding

Sebuah merek (brand) politik terdiri dari bagian-bagian yang saling terintegrasi, yaitu politisi, partai dan kebijakan. Merek ini menjadi sebuah manifestasi pertukaran antara gagasan dan janji untuk dukungan pemilu yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan para pemilih agar sesuai dengan tujuan pemilu yang ditentukan partai (Downer, 2016). Merek yang bagus akan menjamin para pemilih untuk memilih kembali karena merasa bahwa pilihannya sudah sesuai. Downer ingin mengatakan betapa pentingnya branding dalam politik. Termasuk para senator atau anggota DPD, sekalipun mereka adalah perwakilan independen. Namun prinsip branding ini pun dapat diterapkan.

Ada banyak kiprah dan kinerja DPD yang layak ditampilkan dan diketahui oleh publik. Sudah saatnya para anggota DPD unjuk kinerja dan berusaha menjadi media darling yang selalu dilirik dan diekspos media. Media merupakan kunci yang dapat memberikan informasi tentang urusan publik kepada masyarakat. Media menjadi saluran utama yang menghubungkan parlemen dan publik (Beetham, 2006).

Dengan munculnya kemajuan teknologi dan transformasi digital dengan media sosial yang interaktif, hal ini akan membuat komunikasi antara para elit politik dan publik lebih mudah dan mempermudah proses pembuatan keputusan melalui demokrasi secara langsung. Teknologi baru menciptakan ruang diskusi politik secara virtual dengan hadirnya publik secara elektronik (Schwanholz, dkk., 2018). DPD harus memutakhirkan,menggunakan dan memanfaatkan media dan platform media baru agar makin dikenal khalayak luas. Dengan demikian komunikasi yang dibangun DPD sebagai lembaga akan membangun integrasi sekaligus pendidikan politik.

Edukasi publik

Publik sudah selayaknya diingatkan kembali bahwa lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga yang dapat berfungsi sebagai jembatan bagi warga negara yang tidak puas yang menghindari partai politik dan aspek persaingan dalam lembaga seperti DPR, DPD, atau MPR. DPD dalam salah satu fungsi dan perannya adalah menjadi penjembatan kepentingan daerah dalam konteks otonomi. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat seharusnya dapat menjadi pengikat bagi warga negara terhadap lembaga yang menjadi representasi demokrasi (Schwanholz, dkk., 2018).

DPD harus diperkuat sebagai lembaga legislasi kamar kedua setelah DPR. Dalam hal ini DPR harus didorong agar berkolaborasi dan mengakomodir aspirasi DPD. Menurut Beetham, lembaga wakil rakyat yang demokratis itu harus memenuhi beberapa karakteristik, yaitu representatif, transparan, mudah terakses, akuntabel, dan efektif. Kolaborasi dan harmonisasi antara keduanya akan dapat memenuhi kelima karakteristik tersebut.

Dalam hal ini, ada tiga kriteria yang diusulkan oleh Brants dan Volmer (2011). Representasi yang dapat menjembatani antara rakyat yang diwakili dan wakilnya harus dapat dilihat (visibility). Artinya publik berhak tahu sejauh mana para wakilnya memang dapat dilihat mewakili rakyatnya. Kriteria kedua adalan otentisitas (authencity) yang dapat diukur sedalam apa mereka sungguh menjadi representasi bagi kita. Kriteria terakhir menyangkut efektifitas. Hal ini dapat diukur dari tingkat kemudahan kita sebagai rakyat yang diwakili untuk mempengaruhi para wakil rakyat untuk mengatakan atau melakukan sesuatu dengan tepat. Lalu, seandainya mereka tidak menyampaikan dengan benar sesuai aspirasi rakyat, apakah mereka dapat dikenai sanksi dari rakyat. Jadi, publik harus diedukasi bahwa representasi atau tindakan para wakil rakyat itu bukan sesuatu yang mengawang, tetapi memang pengalaman nyata yang dirasakan oleh seluruh rakyat yang diwakilinya.

Peningkatan peran dan kewenangan

Fungsi dan peran DPD yang selama ini serba tanggung harus diupayakan agar menjadi kokoh. Konkretnya bahwa DPD adalah lembaga legislatif, sehingga sudah selayaknya kalau DPD memiliki kewenangan membuat undang-undang bersama DPR. Dalam memperjuangkan dan menjembatani pembuatan kebijakan terkait otonomi daerah, misalnya, DPD seharusnya mendapat tempat yang didengar dan dituruti aspirasinya di lembaga perwakilan rakyat. Apalagi sudah diketahui umum bahwa otonomi daerah  dapat menjadi jawaban persoalan daerah di Indonesia terutama menyangkut persoalan demokrasi, keadilan dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif (Lay, 2011).

Peningkatan peran dan kewenangan DPD harus memiliki payung hukum yang kuat. Diperlukan kemauan politik demi membangun kebaikan bersama (bonum communae). Tanpa ada perubahan terhadap UUD 1945, maka aspirasi masyarakat dan daerah yang dikawal anggota DPD, tetap tidak mudah untuk ditindaklanjuti dan direalisasikan. Karena amanat undang-undang, DPD yang membawa misi mulia terbelenggu ruang geraknya. Boleh dikata, tanpa kemauan politik untuk melakukan amandemen UUD 1945 terkait kewengan DPD, maka nasib masyarakat dan daerah tidak akan berubah ke arah yang lebih baik dan lebih sejahtera sesuai amanat konstitusi (Saputra, 2018).

Melepaskan belenggu partai

Tidak dimungkiri bahwa de facto segala penyelenggaraan negara saat ini berada di bawah kendali partai politik yang menguasai lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oligarki politik menjadi tangan kuat yang mengendalikan sistem pemerintahan di Indonesia saat ini.

Namun untuk membangun realisasi representasi DPD yang terpercaya, maka anggota DPD seharusnya membebaskan diri dari garis partai politik. Pasal 22E Ayat (3) dan (4) UUD 1945 membatasi keanggotaan DPD dengan klausul “perseorangan” (Isra, 2017). Perseorangan berarti bukan dari afiliasi partai politik manapun. Independensi anggota DPD menjadi keniscayaan. Sementara anggota DPR memang berasal dari partai politik. Batasan sesuai amanat konstitusi ini tidak boleh terlanggar kalau DPD ingin membangun citra yang bersih dan punya kemauan politik yang baik sebagai wakil dari daerahnya. DPD harus menjadi pengawal terdepan desentralisasi dan otonomi daerah dalam arti sesungguhnya. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka eksistensi dan representasi DPD tidak akan pernah dikenal secara dekat dan dipercaya oleh rakyat yang diwakilinya. ***(Leo Wahyudi S)

Referensi:

Beetham, David (Edt.). (2006). Parliament and Democracy in the Twenty-first Century: A Guide to Good Practice. Switzerland: Inter-Parliamentary Union.

Brants, Kees. dan Voltmer, Katrin (Edts.). (2011). Political Communication in Postmodern Democracy: Challenging the Primacy of Politics. United Kingdom: Palgrave Macmillan.

Downer, Lorann. (2016). Political Branding Strategies: Campaigning and Governing in Australian Politics. England: Palgrave Macmillan.

Isra, Saldi. (2017). Masa Depan DPD. Opini yang dimuat Kompas edisi 6 April 2017 diakses dari https://kompas.id/baca/opini/2017/04/06/masa-depan-dpd/ pada 18 September 2020.

Lay, Cornelis. (2001). Otonomi Daerah dan Keindonesiaan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No. 2, Nopember 2001 (139-12).

Rai, Shirin M. and Johnson, Rachel E. (2014). Democracy in Practice: Ceremony and Ritual in Parliament. United Kingdom: Palgrave Macmillan.

Razi, Fachrul. (2018). Revisi UU MD3 dan Posisi DPD. Opini yang Kompas edisi 12 Desember 2018.

Saputra, Yulianta. (2018). Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Artikel yang dipublikasi pada 26 Februari 2018 diakses dari https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/02/26/penguatan-kewenangan-dewan-perwakilan-daerah-dalam-sistem-ketatanegaraan-di-indonesia/ pada 18 September 2020.

Schwanholz, Julia. et al. (Edts.). (2018). Managing Democracy in the Digital Age. Switzerland: Springer.

Esai ini dibuat dalam untuk lomba esai yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah RI, September 2020

Foto diambil dari gatra.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: