MOVE ON
Ungkapan move on ini begitu populer, apalagi dalam pergaulan kaum millennial. Secara harafiah move on berarti bergerak, berpindah, terus maju. Padanan katanya pun banyak, bisa move ahead, go on, get going, leave, dan sebagainya. Tetapi mengapa hanya move on yang populer, ini yang belum saya temukan jawabannya. Padahal sejak tujuh tahun silam ungkapan move on ini sudah menjadi bahasan dan kajian banyak orang.
Yang mengherankan, makna move on yang seharusnya luas kini menyempit, karena selalu dikonotasikan dengan sebuah relasi percintaan pria dan wanita. Dan, yang lebih sempit lagi, maknanya diperuntukkan sebagai penyemangat orang yang mengalami kegagalan dalam berelasi agar segera bergerak maju untuk menapaki pola relasi dan hidup yang baru. Kalau tidak mau bergerak, mereka akan dijuluki sebagai orang yang gagal move on. Hidupnya jadi mandeg dan dilukiskan dengan drama yang penuh penderitaan dan penyesalan.
Ini pula yang mengingatkan kisah seorang teman yang mengeluhkan kelakuan istrinya yang sangat tak mengenakkan dan menyengsarakan. Diceritakan bahwa istrinya sering sekali marah dan mengamuk karena terpicu oleh hal-hal sepele di rumah. Entah itu sikap suami atau anak-anak yang tak berkenan, entah itu karena iri hati pada rekannya yang bisa membeli tas mahal. Semua bisa menjadi pemicu kemarahan yang sangat destruktif dalam rumah tangganya. Setelah ditelisik, ternyata ada satu sisi gelap kehidupan masa kecil istrinya yang kelam. Di masa lalu, ia sering mengalami kekerasan fisik dan verbal dari orang tuanya. Itu menimbulkan luka batin yang tak tersembuhkan. Bahkan, mungkin saking nyamannya, ia tidak mau menyembuhkan luka batin itu. Karena dengan luka batin dan efek destruktif itu, ia bisa menggunakannya sebagai modus untuk bisa ‘memeras’ suaminya demi keuntungan finansial dan kepuasan hedonismenya.
Dengan kisah itu, bisa jadi istri teman tadi memang sudah gagal move on, karena memang tidak mau bergerak. Padahal seharusnya hidup itu seperti air yang selalu mengalir dan tidak pernah berhenti pada satu tempat yang sama. Tapi saya juga tidak bisa serta merta menghakimi istri teman tadi. Toh dalam banyak hal saya juga sering gagal move on. Ketika ada orang lain, entah pasangan, anak, teman kantor, tetangga berkata tentang saya dan itu membuat jengkel atau tersinggung, saya tidak serta merta bisa move on. Saya bisa membawa rasa jengkel dan marah sejam kemudian, bahkan seminggu, sebulan atau bahkan setahun kemudian. Bukankah saya juga gagal move on juga kalau begini ceritanya?
Move on dari perkara-perkara sepele yang tidak mengenakkan dalam keseharian ternyata tidak mudah. Sering kita tanpa sadar menjadi kolektor rasa sakit hati, kekecewaan, penderitaan, iri hati, dendam. Kita masih membayangkan orang yang menyakiti hati kita. Kita mengulang-ulang perkataan yang menyakitkan itu bak rekaman yang tak pernah di-stop. Tanpa headphone, kata-kata pedas itu senantiasa terngiang di telinga. Tak heran kalau sebenarnya kita pun juga gagal move on dari persoalan sepele itu. Kita tertatih-tatih, atau bahkan sering, menikmati kesakitan-kesakitan itu. Kita tidak mau menerima kenyataan pahit masa lalu. Kalau saja kita mau move on, kita akan melupakan, lalu bergerak untuk menemukan kenyataan yang lebih baik.
Ternyata membawa pengalaman dan kemalangan hidup, kesalahan, kesakitan di masa lalu merupakan suatu kebodohan. Banyak sekali orang yang gagal dalam kehidupan karena masih tinggal di masa lalu. Mereka tidak bisa melupakan masa lalu, bahkan merasa nyaman dan menikmati masa lalu. Padahal, seandainya mereka mau menutup pintu masa lalu, mereka mampu menciptakan kehebatan, kebaikan, keberhasilan di masa depan. Move on berarti menutup pintu masa lalu, sekalipun baru satu menit atau satu jam yang lalu, sehingga akan membukakan pintu kehidupan baru yang jauh lebih baik. Inilah pesan yang saya ingat dari Orison S. Marden, seorang pengarang Amerika abad 18 yang kondang, dalam bukunya Be Good to Yourself. Jadi, mari kita belajar move on demi menyongsong kehidupan yang lebih baik. *** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: ryanhart.org
Leave a Reply