Saya teringat sebuah percikan kebajikan dari sebuah cerita yang dulu sempat beredar melalui media sosial Blackberry Messenger ketika merek ini masih berjaya sebelum digeser oleh era Android dengan Whatsapp. Cerita dari penulis anonim itu layak untuk diangkat dan diadaptasi karena sangat aktual di masa pandemi seperti saat ini.
Cerita ini berkisah tentang seorang ayah dan anaknya yang pemarah. Karena merasa tak berkutik mengubah sikap anaknya yang pemarah, maka sang ayah pun mencoba mengambil cara lain untuk mendidik anaknya. Ia menyuruh anaknya untuk mengambil tiga puluh paku dan palu.
“Nak, mulai sekarang kalau kamu marah-marah tidak karuan, kamu ambil satu paku. Lalu pakukan di papan kayu belakang rumah,” kata ayahnya.
Anaknya pun melakukan apa yang diminta ayahnya. Mulai hari itu, setiap kali ia marah, maka ia segera melampiaskan kemarahannya dengan memakukan satu paku ke papan kayu. Tak terasa tiga puluh paku itu sudah terpakukan ke papan kayu di belakang rumahnya.
Mulailah anaknya menyadari hal buruk yang ia lakukan. Ia mulai berusaha meredam kemarahannya setiap kali nafsu amarahnya muncul. Meskipun berat, namun usahanya pun mulai menunjukkan hasil. Frekuensi kemarahan anak itu mulai berangsur berkurang. Ia tidak mau repot lagi mengambil paku dan palu untuk menandai kemarahannya.
“Ayah, aku sudah mulai bisa mengendalikan diri sekarang,” kata anaknya.
“Bagus sekali, Nak, usahamu. Ayah pun mulai melihat perkembanganmu. Kamu mulai lebih bisa mengendalikan diri. Sekarang tugas berikutnya, untuk melatih kesabaranmu, setiap kali kamu akan marah, pergilah ke belakang. Lalu cabutlah paku itu dari dari papan kayunya,” kata ayahnya.
Anaknya, meski agak bersungut-sungut, melakukan perintah ayahnya. Satu demi satu paku itu dicabutnya setiap kali nafsu amarah menguasai dirinya. Ternyata upaya mencabut paku-paku itu pun bukan perkara mudah. Tapi ia sadar bahwa ia berniat untuk mencabuti paku-paku itu untuk menandai kemarahannya yang kadang meledak-ledak. Sampai akhirnya anak itu berhasil mencabuti seluruh paku.
“Ayah, aku sudah berhasil mencabuti semua paku di papan kayu itu. Aku capek, ayah. Tanganku sakit semua,” kata anaknya.
“Bagus, Nak. Kamu telah belajar dari kehidupan sekarang. Sadarkah berapa kali kamu mengumbar kemarahanmu selama ini? Sekarang kamu lihat, papan kayu itu tidak mulus lagi. Papan itu penuh bekas lubang-lubang paku yang telah kamu cabut,” kata ayahnya.
Dari cerita ini, saya menjadi malu, karena kebetulan saya dalam kehidupan nyata sering berperan bukan sebagai ayah yang baik seperti dalam cerita itu. Justru saya menjadi anak yang suka marah tersebut. Saya lalu menyadari bahwa amarah saya selama ini berati telah meninggalkan lubang di hati banyak orang yang saya marahi.
Saya juga menyadari masa pandemi ini menimbulkan dampak yang kadang tidak kita sadari. Kita sebagai orang tua, sebagai anak, sebagai pasangan, semua mengalami stres dan tekanan mental akibat penjara sosial di rumah, penjarakan sosial di masyarakat. Situasi ini tak jarang membuat kita jadi sensitif dan mudah tersinggung. Pandemi, suka atau tidak suka, disadari atau tidak, telah berdampak psikologis, tanpa memandang usia.
Suasana penuh tekanan itu tak jarang memicu amarah yang tak berdasar dalam situasi normal. Tapi dengan cerita tadi, saya baru sadar, bahwa selain bekas paku, kata maaf belum tentu dapat menambal lubang-lubang di hati keluarga, pasangan, anak, tetangga, sahabat, saudara, akibat kemarahan saya. Mungkin saya harus belajar sekarang untuk tidak menambah paku dan lubang itu. Mungkin saya hanya perlu palu saja agar saya ingat untuk tidak gampang marah lagi dan tidak meninggalkan bekas lubang di hati orang. Semoga. (Leo Wahyudi S)
Gambar diambil dari rumah.com
Leave a Reply