Judul ini tidak sesederhana bentuk sebutir jagung yang kita kenal. Judul ini mengingatkan saya pada buku Escape from Camp 14 karya Blaine Harden yang mengisahkan kisah pelarian Shin Dong-hyu dari Korea Utara pada 2005. Dari lahir sampai usia 23 tahun Shin hidup di kamp kerja paksa bersama keluarganya, lantaran ada kerabatnya yang dianggap bersalah terhadap negara. Ia berhasil melarikan diri ke China dengan berjalan kaki selama sebulan menyusuri medan berat dan bersalju. Lalu Shin berhasil dibawa ke Korea Selatan dan kemudian tinggal di California menjadi pegiat pembebasan dan pelanggaran hak asasi di Korea Utara.
Shin hidup hanya untuk bertahan hidup di tengah kamp kerja paksa para tahanan politik versi rejim otoriter nan kejam ala Korea Utara. Dari lahir sampai dewasa ia menjalani hidup tanpa ada penghargaan sebagai manusia, tanpa cinta, tanpa kasih sayang, tanpa rasa percaya, sekalipun kepada orang tua dan saudaranya. Harden dalam buku itu menuliskan kisah Shin yang mengatakan, “Cinta, belas kasihan, keluarga adalah kata-kata tanpa makna” di dalam kamp kerja paksa.
Shin menuturkan ketika ia menjalani sekolah di tahanan, gurunya membunuh temannya, seorang gadis kecil seusia Shin. Gurunya marah dan memukuli gadis kecil itu di kelas lantaran anak itu ketahuan menyembunyikan beberapa butir jagung di kantong bajunya. Beberapa butir jagung adalah penyambung hidup. Gadis itu meninggal dengan kepala retak. Kelaparan dan kelangkaan pangan adalah kehidupan mereka sehari-hari. Di Kamp 14 itu ada aturan, “Barangsiapa menyembunyikan atau mencuri segala jenis makanan akan ditembak mati.” Sebutir jagung lebih berharga daripada nyawa manusia. Itulah yang terjadi di Korea Utara.
Di Indonesia, yang sudah merdeka dan relatif makmur, pangan dan sumber pangan berlimpah ruah. Perkara makan bukan persoalan asal orang mau bekerja. Namun ada berita mengejutkan ketika Bappenas, seperti dilansir cnnindonesia.com pada Juni 2021, melaporkan bahwa limbah makanan yang terbuang di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun selama 2000 sampai 2019. Angka ini setara dengan sampah makanan seberat 115 -184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebesar Rp213-551 triliun per tahun, atau setara 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Limbah makanan ini seharusnya bisa memberikan porsi untuk 65-125 juta orang. Sementara itu, pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 membuat ketersediaan pangan makin terbatas. Demikian dilaporkan oleh Bappenas.
Membaca laporan ini, terus terang membuat saya sangat malu dan merasa bersalah. Betapa gampang keluarga saya membuang makanan, entah karena tidak selera makan, tidak mau, lupa masuk kulkas, atau seabrek alasan lain hanya untuk membuat makanan itu mubazir yang berakhir di tempat sampah. Saya selalu cerewet di rumah kalau ada makanan berlebih dan tidak dimakan.
Saya membayangkan di belahan dunia lain, apalagi di Korea Utara, sebutir jagung lebih berharga daripada nyawa seorang gadis kecil yang seharusnya bisa tumbuh hingga dewasa. Untuk meminimalisir rasa bersalah, saya sekarang berusaha berbagi dengan binatang-binatang seperti kucing, tikus, burung, biawak, dan siapapun yang tidak pernah menolak makanan. Rasanya makanan itu tidak berakhir menjadi limbah di keranjang sampah, tetapi menjadi berkah binatang-binatang yang ingin melanjutkan hidup mereka.
Seandainya saya berkesempatan bertemu Shin dan para pembelot dari Korea Utara yang hidup di Korea Selatan saya akan meminta maaf untuk persoalan makanan ini. Kebanyakan para pembelot dari Korea Utara memimpikan untuk bisa makan nasi sepuasnya, tanpa harus mempertaruhkan nyawa. Makan dengan makanan layak menjadi motivasi para pembelot agar tetap hidup dan melarikan diri dari negeri penuh kekejian seperti Korea Utara. (Leo Wahyudi S)
Gambar diambil dari foodbusinessnews.net
Siip josss
LikeLiked by 1 person
Makasihhh yo
LikeLike
Terkesima baca tulisan ini . Membuang sisa makanan sungguh perbuatan tidak manusiawi. Tetangga kiri kanan kita pun masih banyak yang menderita kurang makan, pertumbuhan anak2 stanting mengalami kemandegan dalam pertumbuhan karena kurang gizi kurang makan. Sudah saatnya kita membangun kesadaran kolektif untuk sebuah gerakan berhemat. Sediakan makan sesuai kebutuhan, ambil dan makan secukupnya, pantang buang sisa makanan. Sekiranya ada makanan berlebih berikanlah kepada mereka yang membutuhkan. Biasakan berbagi sedekah kepada orang miskin dan susah makan.
LikeLiked by 1 person
Luar biasa sekali..sangat benar..kita butuh kesadaran kolektif untuk berbagi empati pada semua saudara2 yang masih sangat berkekuangan..sepakat Mas..ayo kita mulai dari kita sendiri.
LikeLike
Klo sekedar mau kasih comment “Podho, pakde” kok terlalu receh, tapi sangat setuju bahwa masih banyak orang terlalu gampang membuang makanan dgn berbagai alasan. Ekstrimnya saya pernah ribut gara2 ada seorang rekan kerja, yang notabene anak manja, saya tegur krn makan beberapa sayap goreng K*C, kulitnya saja dengan menyisakan daging. Menu itu saya beli utk dimakan bersama OB dan security…dan sampai sekarang dia ga negur saya… Hahaha, yo wis ben!
LikeLiked by 1 person
Yes betul..masih banyak orang yg makan hanya mikir dirinya sendiri, tanpa kesadaran dan empati, bahwa di belahan lain masih banyak orang yg bermimpi bisa makan sekedar nasi hangat saja….prihatin..yuk kita sadarkan orang2 seperti itu dari lingkaran terkecil kita.
LikeLike