Saya bukan Charles Darwin, seorang pakar naturalis dan geologi, yang menelorkan teori evolusinya yang sangat terkenal. Ia pernah meneliti tanaman dan cacing tanah dalam bukunya. Darwin membahas sisi ilmiahnya. Sedangkan saya mengangkat cerita cacing ini dari kaca mata orang kurang kerjaan yang mencoba mengamati kelakuan cacing.
Bagi sementara, atau kebanyakan orang, cacing adalah salah satu binatang yang menggelikan, menjijikkan, atau bahkan menyebalkan. Namun di balik kesan yang tidak mengenakkan ternyata ada fakta-fakta mencengangkan tentang cacing. Misalnya, cacing ternyata bernapas lewat kulit, punya rambut halus, punya lima hati, bisa hidup sampai delapan tahun. Bahkan cacing dikabarkan lebih tua daripada dinosaurus karena sudah ada di bumi 600 juta tahun silam. Cacing juga memiliki 6000 jenis, punya kelamin ganda atau hermaphrodite dan bisa meregenerasi kalau dipotong.
Terlepas dari fakta itu saya sebenarnya sebal melihat cacing yang sering menyelinap di lantai kamar mandi saya ketika cuaca panas. Entah mereka datang dari mana. Selalu ada acara teriak-teriak dari anak saya ketika mau ke kamar mandi. Karena ia harus mengurus dan mengusir cacing yang kesasar tersebut. Saya pun terpaksa harus mengguyur cacing nyasar itu agar bisa pergi dan masuk saluran air pembuangan.
Dari pengamatan saya beberapa kali, cacing itu ternyata tidak punya prinsip dan arah hidup yang jelas. Kadang saya guyur ke arah saluran air, antara kepala dan ekor berusaha mencari jalan sendiri di arah berkebalikan. Lucu sekali. Satu tubuh cacing menjulur dan saling tarik menarik. Tapi setelah bosan dan sadar, maka ekornya akan menurut ke mana kepala cacing akan membawa. Ternyata arah kepala itulah yang menentukan arah ke mana perginya. Yang penting adalah mengguyur cacing dan mengarahkan kepalanya ke arah yang kita mau, pasti segera dia akan pergi.
Pelajaran yang dapat diambil oleh kita sebagai manusia adalah soal tujuan hidup. Belajarlah dari cacing. Setiap kita bergerak kita harus menentukan arah. Jangan hanya menuruti arah kepala dan naluri. Jalan hidup punya tujuan dan arah berdasarkan pertimbangan pikiran waras. Seluruh bagian tubuh pun harus menjadi satu kesatuan yang solid untuk menentukan langkah. Bukan untuk saling tarik menarik seperti kepala dan ekor cacing yang punya acara sendiri-sendiri.
Saya selalu mengingat ajaran spiritual dari Sadhguru Jaggi Vasudef yang terkenal. Ketika kita menyatukan pikiran, emosi, tubuh dan energi menjadi satu kesadaran utuh, maka kita akan bergerak ke arah hidup yang kita kehendaki. Ibarat mengendarai mobil, pikiran sudah menentukan tujuan ke mana kita akan pergi. Emosi terpusat pada apa yang kita inginkan dan tubuh berkonsentrasi untuk menggerakkan energi dari mobil yang kita kendarai. Segala yang kita inginkan dan impikan akan dikabulkan oleh semesta alam.
Pelajaran berikutnya, mungkin kita harus punya lima hati seperti cacing. Salah satu hati cacing terletak di dekat kepala, sehingga kalau terpotong, tubuhnya akan dapat meregenerasi lagi. Artinya, kalau kita punya hati yang banyak, maka kita pun akan sanggup menghidupkan kembali semangat yang sempat patah dan terpotong. Kita selalu punya daya juang untuk menghidupkan kembali, bangkit kembali dari keputusasaan atau kegagalan.
Ternyata dari binatang yang mungkin menyebalkan kita masih bisa belajar tentang kehidupan sebagai manusia yang berbudi. Tapi saya tidak menyarankan untuk belajar dari fakta bahwa cacing berkelamin ganda sehingga bisa menggunakannya secara ganda pula. Ada hal baik lain yang patut kita petik sebagai mutiara kehidupan. Mari kita belajar dari seekor cacing. (Leo Wahyudi S)
Gambar diambil dari dreamstime.com
Leave a Reply