Seorang ibu guru agama mencurahkan hatinya di suatu forum semiloka untuk guru agama Katolik. “Murid saya yang masih TK suatu ketika menangis. Dia tidak terima dicap kafir oleh teman-temannya hanya karena dia Katolik. Apakah kita harus diam? Apakah kita harus tetap menggunakan ajaran kasih terhadap diskriminasi semacam itu?” kata ibu itu berapi-api penuh kegusaran. Kebetulan pula ibu itu sering menjadi korban dalam kasus-kasus intoleransi. Wajar kalau ibu itu menjadi gemas melihat situasi ini.
Di satu sisi, saya bisa merasakan kegemasan dan mungkin kemarahan yang dialami ibu guru itu. Wajar kalau dia ingin melakukan pembalasan. Namun di sisi lain, ada ajaran tentang kasih yang sudah mendarah daging. Kasih akan memenangkan segalanya. Begitulah yang diamini selama ini.
Mengutip apa yang ditulis seorang Muslim, Akhmad Sahal, bahwa ‘kafir’ itu berasal dari Bahasa Arab yang berarti ‘orang yang menutup diri.’ Ini merupakan istilah keagamaan dalam Islam untuk menyebut orang yang menutup diri karena mengingkari dan menentang ajaran Islam. Kriteria tentang apa dan siapa ‘kafir’ itu bersandar pada doktrin dan sudut pandang Islam.
Namun harus diakui ketika agama dijadikan tunggangan kepentingan politik, semua jadi amburadul. Makna yang mulia dalam nilai agama bisa terpelintir ke makna amelioratif. Terjadi pergeseran makna dari yang seharusnya ke makna yang negatif konotasinya.
Jangankan umat nonmuslim, di kalangan muslim pun istilah ‘kafir’ dan pelabelan ‘kafir’ ini masih menjadi perdebatan. Sahabat saya, Jalal, adalah seorang muslim moderat. Ia seorang pemikir dan penulis hebat yang selalu berpikir sebelum berbicara atau menulis. Suatu kali saya tergelitik dengan tulisan dia yang menggambarkan perdebatannya soal ‘kafir’ dengan temannya.
“… gua tau kafir itu beragam artinya, gua juga gak tau persis makna kafir yang mana yang bisa dipastikan oleh nalar manusia. Yang tau pasti hanya Allah, makanya biarkan Dia yang Maha Tahu saja yang melabel dengan pasti. Saya tak bersedia menyatakan orang lain kafir lantaran setelah memelajarinya dengan agak serius saya tak kunjung yakin bahwa saya telah memahaminya secara memadai. Dan, kalau akhirnya saya paham sepenuhnya, belum tentu juga saya mau menyatakan orang lain pasti kafir.”
Karena Jalal mempelajari secara serius buku-buku kajian agama dan ilmu agama Islam ia akhirnya memiliki pertimbangan lain. Menurutnya, kekafiran itu tak bisa dipastikan oleh manusia. Apalagi, ia tahu ada hadith yang menyatakan konsekuensi takfir (menuduh orang lain sebagai kafir) itu sungguhlah berat. Tulisan ini sungguh menarik jika didalami. Ada suatu pertimbangan yang bijaksana ketika akan berucap kepada sesama.
Jadi, menurut saya, ketika ada orang lain melabeli kita sebagai kaum kafir, biarkan saja. Sebagai orang Kristiani, kita tidak perlu ‘baper’. Bayangkan saja apa kata Yesus ketika Ia dianiaya, “Ya Tuhan, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang diperbuat.” Lagipula, apakah dengan dicap sebagai kafir lalu apakah iman kita hilang atau berkurang? Saya rasa tidak semudah itu. (Leo Wahyudi S)
Gambar diambil dari kompasiana.com
Leave a Reply