Inspiration

THR

Sudah menjadi kelaziman bahkan diundangkan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan tunjangan dalam satu perayaan keagamaan di negeri ini. Tunjangan atau THR ini menjadi istilah menyejukkan yang selalu dinanti setiap orang, bahkan yang bekerja di sektor informal sekalipun. THR diharap-harap ibarat rejeki nomplok. 

Suatu kali saya melihat status WhatsApp seorang tukang bubur keliling. Menjelang perayaan Lebaran tahun ini ia menampilkan ungkapan perasaannya di status WA. “Mudah-mudahan ada yang ngasih THR …” Orang berharap belas kasih sah-sah saja. Tapi rasa-rasanya ungkapan itu menjadi kelihatan lucu, dan mungkin latah. 

Sampai tahun jebot juga ia tidak akan mendapatkan THR dalam arti sebenarnya. Ia pekerja sektor informal. Bukan bermaksud membedakan profesi.  Tapi kalau yang dimaksud adalah sumbangan atau sedekah di hari raya, itu sangat dimungkinkan.  Ia mengharap ada dermawan yang mau memberikan sedekah dari rejekinya menjelang hari Lebaran.

THR menjadi kredo atau mantra bagi pengharap rejeki lebih, terutama saat menjelang hari raya keagamaan. Semua orang melakukan segala upaya untuk mendapatkan THR. Bahkan sampai ada lurah di Jombang, Jawa Timur, yang dicopot dari jabatannya gegara meminta-minta THR ke pengusaha. Alih-alih dapat rejeki tambahan, malah kehilangan jabatan gegara minta THR. Bahkan tak jarang, ada juga orang yang mengemis THR dengan memaksa ala preman jalanan. Yang ada bukan meminta belas kasihan, tetapi memalak sejumlah uang dengan memaksa dengan label ‘THR’. 

Kembali ke status tukang bubur tadi. Bubur yang dijualnya memang enak. Ia punya banyak pelanggan di komplek perumahan. Dalam hitungan jam, biasanya dagangannya sudah habis. Saya memperkirakan ia bisa mendapatkan lima ratus ribu dalam sehari ketika dagangannya habis. Dalam satu bulan, penghasilan itu tinggal dikalikan. Penghasilannya per hari bisa mengalahkan karyawan kantoran. 

Tukang bubur itu mungkin tidak menyadari bahwa Impian dan harapannya akan belas kasih orang untuk membagikan THR justru akan membuatnya lupa bahwa yang dilakukannya sudah mendapatkan ganjarannya, yaitu bubur yang laku. Ia mungkin lupa kalau setiap pembeli itu adalah perantara rejeki atau THR dari Sang Pemberi Kehidupan. Dan mungkin impiannya tentang THR juga membuatnya lupa dengan dompetnya yang sudah tebal.

Kalau ia memaknai THR hanya sebagai Tunjangan Hari Raya, itu berarti ia sedang membatasi cara semesta dan Sang Pemberi menganugerahkan rejeki dalam hidupnya. Kita pun sering mendikte Sang Pemberi dengan keyakinan akan arah datangnya jalan rejeki. Padahal Tuhan bisa memberikan kelimpahanNya dari arah manapun dan cara apapun. Bukan melulu dari THR. Semesta memiliki kelimpahan, tetapi semesta juga punya cara tersendiri untuk mengirimkannya kepada kita. 

Coba kalau THR diubah pengertiannya menjadi Tuhan Hadir dengan Rejeki, kita akan merasakan makna rejeki sesungguhnya. Rejeki dapat datang kapan saja, dari mana saja, dan dengan cara apa saja. Mungkin kalau disadari dan disyukuri, sesungguhnya kita selalu mendapatkan THR setiap hari. Tidak usah menunggu hari raya. Yang penting kita jangan jumawa dengan membatasi cara Tuhan dan semesta untuk memberikan kelimpahan rejeki dan nikmatNya. Tugas kita hanya berusaha, mengimani, dan tidak membatasi kuasaNya. Insya Allah, rejeki, termasuk THR, tidak akan pernah salah alamat dan salah waktu.***(Leo Wahyudi S).

Foto dari radarbali.jawapos.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: