Momen perayaan lebaran Idul Fitri adalah momen kemenangan ketika umat Islam berhasil berjuang mengalahkan segala nafsu kemanusiaan yang negatif. Hal ini makin disempurnakan dengan momen penghapusan dosa dan kesalahan dengan saling memberi dan meminta maaf. Mengucapkan kata ‘Mohon maaf lahir dan batin’ sungguh mudah. Tetapi mengucapkan dan mendalami makna dan dengan iklas kita meminta maaf atas kesalahan kita sekaligus memberi maaf kepada yang menyalahi kita, itu yang sesungguhnya sulit. Tetapi bukannya itu tidak mungkin.
Proses memaafkan dalam kondisi yang cukup ekstrem saya temukan ketika saya membaca buku ‘Left to Tell’ karya Immaculee Ilibagiza pada 2006 silam. Immaculee adalah seorang penyintas dari tragedi kemanusiaan yang biadab di Rwanda, Afrika pada 1994. Ia mengisahkan betapa nyawanya terancam selama tiga bulan dalam persembunyian di sebuah kamar mandi sempit yang diisi beberapa perempuan. Mereka tersekap dalam kepengapan sebuah kamar mandi agar tetap selamat dari tebasan pedang para pembunuh yang selalu haus darah. Para pembunuh ini memburu musuhnya sehari 2-3 kali, siang dan malam.
Immaculee adalah suku Tutsi. Ia berhasil menyelamatkan diri dari pembunuhan masal antaretnis yang dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi telah menelan korban ratusan ribu nyawa orang tak berdosa. Hanya dalam 100 hari dari April sampai Juli 1994, hampir 800 ribu suku Tutsi dibantai karena kebencian. Kebiadaban yang terpicu oleh gejolak politik dan kebencian ras. Tanah negeri sudah dibasahi dengan darah manusia tanpa kenal ampun.
Ketika kondisi teratasi, akhirnya Immaculee bisa keluar dan berhasil diselamatkan. Ia baru tahu bahwa seluruh keluarganya telah dibunuh. Hanya ia dan satu kakaknya yang masih hidup. Buku yang ia tulis merupakan kisah hidup dan kesaksiannya bahwa salah satu kekuatan yang membuatnya tetap hidup adalah pengampunan. Pengampunan, memberi maaf, adalah energi yang menyembuhkan.
Ia mendedikasikan hidupnya untuk menolong para penyintas dari ladang pembantaian itu agar tetap hidup. Hidup dengan melepaskan dendam dan kebencian, lalu diganti dengan sikap memaafkan. Usahanya tak sia-sia. Banyak orang yang akhirnya bisa hidup dalam kedamaian setelah bisa memberi maaf kepada para pembunuh keluarga mereka.
“Cinta meskipun hanya muncul dari satu hati, itu akan dapat mengubah dunia. Saya yakin kita semua dapat menyembuhkan Rwanda dan seluruh dunia dengan menyembuhkan hati kita sekaligus,” kata Immaculee.
Kisah Immaculee ini sangat konkret ketika mengutip apa yang dikatakan Robert Muller. “Memaafkan merupakan bentuk terindah dari cinta, karena kita akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan yang tak terlukiskan.” Ungkapan ini sangat dalam maknanya. Maka, marilah kita gunakan momen Lebaran tahun ini untuk meminta maaf dan memberikan maaf secara tulus, demi kedamaian dan demi cinta pada sesama. Ketika kesalahan dan kebencian sirna, maka yang tinggal adalah cinta, kedamaian dan hati yang bahagia.
Mengampuni itu tidak akan mengubah masa lalu, tetapi akan memperluas cakrawala di masa depan. Begitu kata orang bijak. Cakrawala yang penuh kedamaian karena hati yang penuh cinta dan pengampunan. Saya mohon maaf lahir dan batin kepada Anda para pembaca!***(Leo Wahyudi S)
Foto dari tribunnews.com
Leave a Reply