Salah satu cabang olahraga atletik adalah lari estafet atau lari sambung. Lomba beregu ini terdiri dari empat pelari atau perenang dalam jarak tempuh tertentu. Setiap anggota regu harus berlari atau berenang dengan membawa tongkat atau bendera untuk diserahkan ke anggota regu selanjutnya hingga mencapai garis finis.
Konon sejarahnya lari estafet ini muncul karena terinspirasi kebudayaan jaman suku Aztec dan Maya di Meksiko dan suku Inca di Peru pada abad 300 – 1500an Masehi. Dalam peradaban Amerika kuno itu budaya lari bersambung muncul. Mereka harus menyampaikan pesan penting secara berantai. Sejarah mencatat suku kuno itu juga mengadakan lomba membawa obor ke wilayah berbukit-bukit secara bersambung.
Ketika diperkenalkan di Amerika Serikat pada 1893, bendera kecil yang dibawa pelari berubah menjadi tongkat silinder berongga. Lari estafet kemudian mulai resmi diperlombakan dalam ajang kejuaraan dunia Olimpiade di Stockholm pada 1992.
Ternyata pandemi ini telah memunculkan banyak atlet estafet kemanusiaan yang tiada tara pengorbanan dan kebaikannya. Saya hampir setiap bulan harus mengambil bantuan sosial berupa paket sembako untuk dibagikan ke warga terdampak pandemi. Suatu kali saya iseng berhitung-hitung nilai satu paket sembako yang tertumpuk di aula gereja. Nilainya rata-rata dua ratus ribuan per paket. Padahal ada ratusan paket sembako yang memenuhi ruangan. Dan itu semua harus dibagikan ke semua yang memerlukan.
Saya bayangkan berapa ratus juta rupiah yang diulurkan para dermawan setiap bulan secara cuma-cuma. Saya membayangkan para dermawan itu memang sudah selesai dengan urusan perutnya dan keluarganya. Jadi uang puluhan hingga ratusan juta itu seolah bukan beban berat bagi para dermawan. Tidak seperti saya yang masih berkutat dengan urusan untuk mengatasi lapar dan perut keluarga.
Bagi saya, merekalah yang layak disebut atlet estafet kehidupan yang sejati. Mereka menyalurkan berkah berkelimpahan untuk diberikan ke sesamanya. Mereka tidak menggenggam sendiri obor, bendera kecil, tongkat atau pundi uang untuk mereka sendiri. Para dermawan itu berlari untuk menyerahkan tongkat-tongkat berkah itu ke saluran selanjutnya.
Beruntunglah negeri sabuk api yang akrab dihampiri bencana alam ini memiliki atlet-atlet estafet kemanusiaan yang handal. Kita patut bersyukur sekaligus patut mencontoh keteladanan mereka. Ketika terjadi bencana, mereka mampu mengumpulkan bantuan dalam hitungan hari dalam jumlah puluhan ton. Panggilan kemanusiaan dan kedermawanan yang luar biasa. Inilah modal sosial yang tak pernah tergerus oleh virus Covid-19.
Kehidupan bersama mengandaikan kesanggupan kita untuk selalu berlomba secara beregu. Kita pun bisa melatih diri menjadi atlet estafet kehidupan sebagai penyalur berkah. Kita bisa menjadi atlet estafet di kompleks dan bermain beregu dengan tetangga. Tidak harus dalam nominal jutaan. Tidak harus berupa uang. Kita masing-masing kalau jujur dan bersyukur pasti dilimpahi berkah rejeki, kesehatan, ketrampilan dan kebaikan. Semua itu ibarat tongkat estafet. Adalah tugas kita untuk segera memberikannya kepada orang lain. Jangan sampai tongkat berkah itu tertahan di tangan kita terlalu lama. Kasihan regu kita yang menunggu.
Kita sudah memegang tongkat-tongkat kehidupan itu. Terserah, kita mau menjadi tim pelit atau tim dermawan. Kalau kita menahannya dan tidak memberikan ke orang lain, maka tongkat berkah itu tidak ada maknanya sama sekali. Hidup kita pun tak bermakna, meski merasa kaya dan berkelimpahan. Kita pun tak akan sampai di garis finis dengan sempurna sebagai pelari sambung kehidupan. Tim pelit akan jadi pecundang dalam lomba kehidupan. Kita hanya merasa kaya untuk diri sendiri. Sementara kawan regu atau tetangga kita hanya menunggu, tanpa pernah mendapatkan limpahan berkah dari tangan kita. Dengan merasa cukup dan kaya untuk diri sendiri, maka kita telah menodai permainan estafet berkah. Kita hanya menjadi tim pecundang dalam estafet kehidupan. (Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari cerdika.com
Leave a Reply