Opinion

MILLENIAL DAN AGAMA, MASIH RELEVANKAH?

Membaca buku Homo Deus besutan Yuval Noah Harari (2015) seolah kita diajak untuk membongkar sejarah kemanusiaan yang kemudian dibawa untuk membedah belantara masa depan. Bahkan ia menyebut bukunya sebagai sebuah sejarah masa depan. Manusia diajak berefleksi untuk melihat apa yang akan terjadi di masa depan sebagai sebuah keniscayaan.

Pada masa awal muncul peradaban dengan pola agrikultur orang mulai menyadari akan adanya suatu kekuatan yang mampu mencipta dan memberikan panenan yang bagus. Terciptalah tuhan atau dewa yang urusannya duniawi, yaitu seputar urusan panen. Tidak ada urusan dengan kekuatan metafisik termasuk kehidupan setelah kematian. Namun seiring perkembangan jaman, revolusi industri yang menjadi penanda peradaban maju, tuhan-tuhan kuno di era agrikultur kuno mulai ditinggalkan. Agenda manusia yang baru adalah mencapai keilahian yang berkonotasi pada kehebatan, keajaiban dan keabadian.

Manusia modern berkompetisi untuk menciptakan hal-hal super bahkan manusia super yang kemampuannya bisa melebihi tuhan-tuhan kuno. Alat-alat canggih pun diciptakan. Pengetahuan berkembang bukan lagi berdasarkan perkalian antara kitab suci dan logika, seperti yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Kini dalam revolusi sains, Harari berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan hasil perkawinan antara data empiris dan matematika. Maka terciptalah modernitas yang serba canggih seperti abad ini. Rekayasa genetika, komputer super canggih, robot nano, kecerdasan buatan (artificial intelligence) pun muncul dan berkelindan dalam persaingan antara manusia modern dan tuhan kuno untuk mencapai keilahian yang penuh keajaiban. Bukan tidak mungkin manusia super yang dulu hanya dalam dongeng, suatu hari nanti akan benar tercipta oleh sebuah peradaban maju di masa yang tidak terlalu jauh lagi di masa depan.

Manusia berevolusi untuk mencapai suatu titik keseimbangan. Proses evolusi itu bergerak perlahan selama ribuan tahun. Namun di awal abad millennial ini para ahli mencoba mengklasifikasikan generasi setidaknya menjadi lima kategori, yaitu Generasi Perang Dunia II, Generasi Diam, Generasi Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y atau Millennial, dan Generasi Z (Strauss & Howe, 1991). Bahkan setelah Generasi Z akan muncul Generasi Alpha yang merupakan digital native. Artinya, dari lahir dan dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya akan selalu lekat dengan kemajuan dunia teknologi digital.  

Generasi Millenial diyakini menjadi generasi yang jumlahnya sangat besar di dunia. Ia tumbuh menjadi kelompok yang kuat dan mampu mentransformasikan tahap hidup yang dijalani melalui mobilitas mereka yang tinggi, jaringan kuat sehingga mampu melakukan perubahan sosial di semua jenjang. Tidak dipungkiri pula, kehidupannya yang tak lepas dari media sosial telah mengubah norma sosial dan tata perilaku kaum millennial ini. Semua lini kehidupan modern yang pondasinya sudah ditata oleh generasi-generasi pendahulunya diporakporandakan. Zona nyaman antargenerasi sebelumnya tercerabut oleh kehadiran kaum millennial ini.

Yuswohady dkk (2019) dalam bukunya, Millenials Kill Everything, dengan tajam mengulas tentang millennial shifting. Perubahan pola pikir, pola tindak kaum millennial yang berubah dan akhirnya mengubah banyak hal. Semua dituntut serba fleksibel. Kerja pun sudah tidak mau dikungkung dalam kubikal atau ruang kantoran kaku. Mereka ingin bebas. Trennya pun berubah menjadi remote working alias kerja jarak jauh dengan output yang bisa tercapai. Mereka menjadi pekerja paruh waktu sehingga muncul istilah digital nomad atau workation (kerja sambil liburan). Dengan perubahan dan pergeseran perilaku dan preferensi kaum millennial, mereka dianggap menjadi pembunuh berdarah dingin untuk produk dan layanan yang selama bertahun-tahun bertengger dalam konstelasi perekonomian kapitalistik dunia. Mereka membuat tatanan hidup dan nilai gonjang-ganjing.

Agama di mata kaum millennial?

Setelah mengamati dan mengalami kehadiran kaum millennial yang ‘berdarah dingin’ tersebut, apakah kemapanan lembaga agama yang telah berabad-abad diyakini ini juga terancam disrupsi? Sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center pada 2015 lalu menyebutkan kaum millennial Amerika yang lahir antara 1981-1996 sudah menolak atau apatis terhadap agama. Riset itu menyebut bahwa 35% kaum millennial mengaku tidak menganut agama apapun. Angka itu pun pasti akan berkembang lagi sampai detik ini.

Kaum muda kelihatannya sudah bersikap resisten terhadap agama yang terlembaga. Mereka anti terhadap sistem apapun yang penuh aturan dan membatasi keputusan atau gaya hidup mereka. Mereka berpendapat bahwa agama sudah ketinggalan jaman dan tidak relevan lagi dengan kehidupan mereka. Banyak kaum terdidik dan kaum profesional muda pun sudah tidak tertarik lagi untuk terlibat secara formalistis dalam praktik-praktik keagamaan (Wildes, 2017). Mereka mengalami kekosongan spiritual karena sudah dijejali dengan teknologi.

Kaum agamawan, ulama, pemimpin agama, kaum religius akan terhenyak melihat fakta ini. Zona keyakinan yang telah berakar berabad-abad terancam keberadaanya. Mereka seharusnya makin yakin dengan realita bahwa kaum millennial semakin menjauh dari lembaga agama. Tapi setidaknya kaum agamawan boleh meyakini bahwa anak muda itu masih butuh bimbingan. Apalagi dengan kehidupan di era pasca kebenaran, kaum muda berhadapan dengan relativisme etis dan netralitas nilai di jaman sekarang. Hal itu akan membuat kaum millennial bingung dan mungkin pula di sana agama dengan kompas moralnya masih bisa masuk.

Agama data

Hasil riset Pew Research Center (2015) memproyeksikan bahwa profil religius di dunia akan berubah cepat karena perbedaan tingkat kesuburan, perpindahan keyakinan dan besarnya populasi kaum muda pada agama-agama arus utama di dunia, Kristen dan Islam. Penelitian ini menyebutkan ada tren kenaikan umat Muslim yang akan menyamai umat Kristen pada 2050. Dari 2010, Kristen menjadi agama dengan umat terbesar, yaitu sekitar 2,2 milyar atau 31% dari 6,9 milyar populasi dunia. Islam berada di papan kedua dengan jumlah penganut 1,6 milyar atau 23% dari populasi dunia. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan populasi dunia akan bertumbuh menjadi 9,3 milyar pada 2050.

Di sisi lain, populasi yang tidak terafiliasi dengan agama atau keyakinan apapun, seperti kaum ateis, agnostik,  akan bertumbuh di atas 1,2 milyar pada 2050. Namun jika dibandingkan dengan total populasi dunia, kaum tak beragama ini akan turun dari 16% pada 2010 menjadi 13% pada 2050, meskipun angka itu akan tumbuh di Eropa, Amerika Utara dari 16% pada 2010 menjadi 26% pada 2050.

Harari menjelaskan lebih lanjut bahwa evolusi manusia sampai pada sebuah kondisi dimana terjadi revolusi humanisme. Humanisme ini muncul dari pengetahuan yang dihasilkan oleh pengalaman dan sensitifitas manusia. Revolusi humanism juga terjadi di abad digital ini ketika kaum muda disodori banyak opsi. Termasuk soal keyakinan atau afiliasi agama. Kitab suci yang dulu dijadikan rujukan untuk kekuatan kreatif, kini justru menjadi kekuatan reaktif (Harari, 2015:314-7). Para pemeluk agama gampang bereaksi terhadap inovasi dan teknologi dengan sibuk melawannya melalui dalil-dalil kitab suci. Harari memberikan pertanyaan reflektif yang menohok, “Apa saja  penemuan, penciptaan atau kreasi inovatif yang diciptakan oleh agama-agama tradisional seperti Islam dan Kristen pada abad ke-20?” Ternyata kitab suci hanya dijadikan sumber otoritas, bukan sumber kreatifitas. Apalagi fakta memperlihatkan bahwa kapitalisme pasar bebas dan tatanan dunia saat ini tidak lagi dikendalikan oleh ideologi agama atau keyakinan religius, tetapi oleh persaingan pengolahan data. Menurut Harari, nilai setiap fenomena atau entitas ditentukan oleh kontribusinya dalam pemrosesan data di abad big data dewasa ini.

Saya tidak sedang mengompori kaum millennial untuk menjadi kaum revolusioner yang menolak kehadiran agama atau keyakinan yang mereka peluk erat saat ini. Tulisan ini menjadi refleksi bersama betapa revolusi teknologi, data, seharusnya memaksa kaum religius untuk berefleksi kembali terhadap tantangan ini. Apakah akan tetap berada di zona nyaman dan bertahan, atau melakukan disrupsi dengan tetap menjadikan otoritas agama sebagai penjaga dan petunjuk nilai di tengah hiruk pikuk abad digital ini? 

Dalam konteks kegiatan intelektual, data menjadi tahap pertama dari sebuah rantai panjang kognisi. Harari berpesan agar manusia menyaring data menjadi informasi sehingga informasi menjadi pengetahuan karena pengetahuan akan melahirkan sebuah kebijaksanaan. Namun ini menjadi tantangan besar, karena kaum millennial, dan bahkan generasi sebelumnya yang masih belum terdisrupsi pola pikirnya, tidak akan mampu membendung algoritma digital yang sudah menguasai seluruh sendi kehidupan manusia modern. Algoritma komputer yang membentuk big data inilah yang akan menjadi tantangan esensial bagi kaum religius dan kaum millennial, apakah tetap akan setia pada agama atau tunduk berserah pada agama data? Wallahu A’lam Bishawab.*** (Leo Wahyudi S)

Esai ini menjadi bagian dari buku “Antologi Esai: Pesan-Pesan Millenial” yang diterbitkan oleh CV. Bashish Publishing: Situbondo. (2020).

Daftar Bacaan

____ (2015). The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010-2050. USA: Pew Research Center.

Bolton, Ruth N., et.al. 2013. Understanding Generation Y and Their Use of Social Media: A Review and Research Agenda. Journal of Service Management · June 2013.pp 1-40. https://www.researchgate.net/publication/259452104

Harari, Yuval N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.

Strauss, W., & Howe, N. 1991. Generations: The history of America’s Future, 1584 to

2069. New York: Morrow.

Yuswohady, dkk. (2019). Millenials Kill Everything. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wildes, Rabbi Mark. (2017). Millenials and Religion: A New Perspective. Yang diakses dari https://www.huffpost.com/entry/millennials-and-religion-a-new-perspective_b_59480034e4b0961faacbe57c (Diakses pada 25 November 2019)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: