IRONI SAAT PANDEMI
Pandemi Covid-19 telah merenggut semua sendi kehidupan manusia. Tatanan dunia modern dibuat porak poranda. Kapitalisme ekonomi runtuh, tanpa ada pemogokan buruh massal. Kebijakan bekerja dari rumah (work from home) telah melonggarkan cengkeraman ekonomi kapitalistik selama ratusan tahun. Tak ada yang sempat mengelak atau menghindar dari serangan virus corona atau Covid-19. Tidak ada lagi negara adidaya, negara maju, negara berkembang, negara miskin. Tak ada lagi si kaya dan si miskin. Semua sama di hadapan pandemi Covid-19. Bahkan senjata nuklir pun tak sanggup menghancurkan virus tak kasat mata ini. Dunia dibuat tunduk berlutut di hadapan Covid-19.
Kehormatan, derajat, pangkat, kedudukan tak berarti lagi. Ketika virus itu menyerang semua menjadi sama. Yaitu, korban keganasan Covid-19. Harkat dan derajat manusia seolah tak berharga. Kematian dan kelahiran manusia bukan momen spesial lagi di tengah pandemi ini. Justru kematian mendendangkan suasana tragis kemanusiaan, karena seolah tak ada artinya kecuali bangkai berpenyakit yang harus segera dikubur dalam-dalam. Tanpa keluarga, kerabat, handai taulan yang mengenangkan segala warisan kemasyuran atau kehormatan.
Semua orang dihantui ketakutan oleh dunia renik tak terlihat ini. Semua bersembunyi seolah sudah aman. Padahal virus sudah menempel di hidung dan masuk ke tenggorokan. Manusia dari kasta manapun sudah tidak punya alasan untuk memegahkan diri, congkak diri. Semua tak berarti. Semua bisa kena.
Pembatasan sosial memberikan siksaan tersendiri ketika menjadi antitesis hakikat manusia sebagai makluk sosial. Makluk yang bisa menemukan kemanusiaannya ketika saling berinteraksi kini justru dibatasi agar tidak berinteraksi, apalagi berkontak fisik. Hakikat manusia terkoyak. Terpojokkan dalam kesendirian yang ramai. Pandemi telah menciptakan ironi-ironi yang tak pernah terbayang beberapa bulan lalu.
Manusia kini dirumahkan secara massal. Semua aktifitas pendidikan, peribadatan dan pekerjaan harus dilakukan dari rumah. Rumah menjadi penjara dadakan bagi sebagian besar umat manusia. Kemewahan dan ingar bingar kehidupan modern dimatikan. Di rumah, hidup dan mati seseorang ditentukan. Kebebasan manusia terpenjara karena ulah virus. Dunia seketika menyempit secara kasat mata, yaitu seluas rumah atau tempat yang dihuni. Interaksi pun hanya dilakukan dengan kekuatan teknologi informasi.
Ujian iman
Ritual keagamaan pun terkena imbasnya. Manusia hampir dilarang untuk berkumpul menjalankan ritual keagamaan. Religiusitas dan keimanan seseorang sungguh diberi ujian. Apakah orang yang mengaku beragama goyah imannya atau tidak? Apakah pelarangan peribadatan mengurangi keimanan? Inilah saatnya religiusitas diuji. Banyak yang masih risau, karena mereka terbelenggu kesalehan formal. Artinya, keimanan masih diukur dengan aturan-aturan yang belum melampau dimensi ruang dan waktu. Padahal sesungguhnya, iman adalah relasi personal dengan Sang Pencipta. Relasi batin ini tak dibatasi ruang dan waktu, termasuk aturan-aturan fisik seperti keadaan saat ini.
Orang dengan kedalaman iman justru akan menemukan momen untuk melakukan refleksi mendalam tentang relasinya dengan Sang Pemilik Alam. Tanpa harus terganggu dan risau dengan tata cara. Sementara yang lain malah sibuk berteriak dan memprotes pembatasan tata cara peribadatan dan standar kesalehan formal yang tak terpenuhi. Para peneriak ini justru melupakan esensi ajaran dan keimanan yang diyakininya. Fakta ironis yang benar-benar terjadi di tengah pandemi.
Bahkan ada yang memprovokasi agar tidak takut dengan virus, tetapi takutlah akan Tuhan. Sebuah provokasi sempit yang menyesatkan. Virus memang tidak untuk ditakuti, tapi harus diatasi dan dibasmi. Tuhan juga tidak pernah minta ditakuti. Dia hanya minta kita menghormati. Cara menghormati Tuhan dilakukan melalui perilaku hormat terhadap diri sendiri dan sesama dengan membawa sifat Tuhan yang penuh kasih dan kebaikan.
Orang beriman lalu sibuk beramai-ramai berdoa, memohon agar Sang Pencipta segera menyingkirkan segala bencana yang menyiksa ini, yang merenggut kebebasan dan kenyamanan hidup duniawi ini. Mereka lupa bahwa hakikat berdoa sesungguhnya adalah mengadaptasikan hati dan budi kita agar selaras dengan kehendak Sang Pencipta. Ketika kita berdoa betapa kita sering memaksa dan mendikte Sang Pencipta agar Dia berubah pikiran dan memihak serta mendengarkan jeritan kita. Padahal, sesungguhnya doa adalah upaya untuk membiarkan Sang Pencipta mengubah pikiran dan hati kita. Bukan sebaliknya.
Menanggapi pandemi ini, Dalai Lama, pemimpin Budha, mengatakan bahwa doa saja tidak cukup. Kalau sebuah masalah memiliki solusi, maka harus dicari solusinya. Semoga pandemi ini menjadi sarana koreksi diri dan hati demi keseimbangan alami sebuah kehidupan. *** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: kompas.com
Mantulll Pak Leo.. Teruslah berkarya demi membuka hati dan akal budi semua orang agar semakin banyak orang yg mampu berefleksi dan empati dengan kehidupan sekitarnya. Hanya melalui kaca mata iman maka setiap pribadi akan tersentuh dan terbuka wawasannya. Terima kasih Pak Leo. Salam sehat dan penuh semangat.
LikeLike
Terima kasih banyak apresiasinya. Semoga semua orang makin terbuka, tercerahkan demi kehidupan bersama yang lebih baik..makasih ya
LikeLike