MEMBERI BINTANG
Jaman dulu, orang ingin meraih dan mengambil bintang itu perkara yang mustahil. Mimpi yang absurd. Tapi di jaman kekinian yang serba digital, bermimpi menjadi bintang, atau memberi bintang bisa dikatakan sebagai perkara sepele.
Sebagai pengguna layanan ojek online, setiap kali saya selalu disodori gambar bintang dalam aplikasi ojek online yang saya gunakan. Gambar itu muncul setelah kita tiba di tujuan. Bagi saya ini perkara sederhana. Saya tinggal pencet bintang kelima dan muncullah lima bintang kuning. Selesai. Anggap saja sebagai tanda terima kasih, begitu pikir saya.
Namun ada banyak orang yang tidak seperti saya. “Banyak, Pak, penumpang yang aneh. Mereka tidak memencet tanda bintang. Atau mereka memencetnya di hari sesudahnya. Kalau sudah begini, penilaian saya tidak bagus dari perusahaan. Tapi, ya gimana lagi? Saya kan hanya pengemudi yang tidak memaksa pelanggan,” kata seorang pengemudi ojek online suatu sore sambil mengantarkan saya ke tujuan.
Saya berandai-andai, mungkin penumpang itu malas memberikan bintang karena dianggap buang-buang waktu untuk hal sepele. Atau, orangnya memang tidak mau peduli untuk hal-hal semacam itu. Atau, mungkin penumpang merasa jengkel dari awal karena sikap pengemudi yang jutek, yang tidak tahu rute jalan, yang badannya tidak wangi, yang motornya tidak nyaman, yang helmnya longgar dan bau, dan beragam alasan lain agar ada pembenaran sikapnya yang pelit. Urusan memberi dan bersedekah hati menjadi hitungan untung-rugi. Padahal hanya urusan gambar bintang.
Sejujurnya, saya pun sering dikecewakan jasa para pengojek daring. Biasanya karena sikapnya yang belagu, menolak dengan tidak sopan, sok tahu, tidak ramah, sampai salah arah. Bahkan saya pernah dibonceng oleh pengemudi yang cara mengemudinya membuat saya mual dan hampir mabuk. Untung saya tidak jadi mabuk, karena otak saya masih waras. “Masak, naik motor sampai mabuk. Apa kata orang?” begitu pikir saya.
Sekalipun jengkel dan kecewa, tapi saya selalu berpikir, apa salahnya saya memberi bintang pada pengemudi menyebalkan itu. Biar reputasinya naik, lalu penilaiannya baik. Kalau baik, maka rejeki orang itu akan lancar. Jika rejeki lancar, anak dan istrinya di rumah pun akan mendapat berkah. Kalau ingat perut dan mulut yang menunggu di keluarga pengojek itu, jari dan hati saya pun luluh.
Bintang bukan benda yang jauh. Bahkan teramat dekat. Bintang hanya persoalan jempol dan layar sentuh di ponsel yang kita gunakan setelah kita menggunakan jasa antaran ojek daring. Semudah itu untuk berbuat kebaikan. Itupun masih ada orang yang sulit melakukannya. Tidak hanya soal politik, bersedekah pun masih transaksional. Memberi sentuhan jari pun masih perlu berhitung-hitung. Orang masih harus dipenuhi banyak pertimbangan dan penilaian hanya untuk memberi bintang. Seolah terjadi pertaruhan reputasi untuk memberikan sekedar gambar bintang.
Hati kita yang tulus dan ikhlas dikonversi menjadi bintang dan penghasilan orang lain. Simbol itu pun bersinar dan menghidupi keluarga si pengemudi. Ternyata memberi itu mudah, semudah jari menempel layar sentuh ponsel, dan penuh berkah. Bersedekah itu bukan hasil dari perhitungan untung-rugi, tapi soal hati yang ikhlas.*** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: blog.zoom.us
Leave a Reply