Inspiration

BANDENG PRESTO

Saya suka bandeng presto. Rasanya enak dan gurih. Dagingnya gempal padat. Ketika dimakan, bumbunya pun terasa pas di lidah. Duri dan tulangnya pun bisa disantap, karena sudah lunak dan remuk. Presto memang membuat yang keras menjadi empuk. Padahal ikan bandeng terkenal dengan duri dan tulangnya yang berada di sekujur dagingnya.

Penasaran dengan proses pembuatannya, saya iseng mencari resep dan cara memasak ikan bandeng presto. Ternyata, proses pembuatannya tidak sesederhana rasanya yang lezat itu. Ada banyak bumbu dan rempah yang harus disiapkan. Ada banyak proses dan tahapan yang harus dilalui untuk memasak bandeng presto. Pancinya pun khusus, yaitu dengan pressure cooker, panci bertekanan tinggi. Diperlukan kurang lebih dua jam untuk menjadikan ikan bandeng segar menjadi bandeng presto.

Dalam konteks kemanusiaan dan kerohanian, bolehlah saya mengibaratkan kita bagaikan seekor ikan bandeng. Kita memiliki tulang keras dan duri-duri dalam hati. Tulang keras dan duri-duri itu menjadi sesuatu yang seringkali melukai hati dan perasaan orang lain ketika kita saling berinteraksi.

Tulang itu saya ibaratkan kekerasan hati, kesombongan, arogansi, egoisme yang selalu kita pakai untuk menghadapi orang lain. Sementara duri itu saya bayangkan sebagai rasa iri, dengki, suka menyakiti hati, nafsu serakah, ketidakjujuran yang setiap waktu bisa menusuk orang lain saat kita berinteraksi dan berelasi dengan mereka.

Saya kebetulan mendapatkan cerita tentang bandeng presto ini empat tahun lalu melalui media sosial. Hal ini mengingatkan saya bahwa seringkali dalam kehidupan nyata kita digembleng, ditempa dan diberi tekanan sedemikian rupa sehingga hidup rasanya terlalu berat untuk dialami. Hidup yang kita jalani serasa remuk dan penuh kemalangan. Kehidupan bagaikan pressure cooker.

Mungkin kita juga pernah mengalami ketika duri dengki dan tulang kesombongan kita dilunakkan melalui peristiwa hidup yang kita alami. Betapa berat, menyakitkan dan bahkan mempermalukan kita. Tuhan seolah sedang memasukkan kita dalam sebuah panci bertekanan tinggi agar tulang dan duri kita melunak. Dengan panci dan air panas biasa, tak mungkin tulang dan duri itu akan menjadi lunak.

Meskipun Tuhan sudah memberikan bumbu dan rempah-rempah penyedap, kita tetap harus dimatangkan. Kita harus mengalami hidup dalam tekanan panci kehidupan yang rasanya hampir mustahil kita kuat menjalaninya. Tapi nyatanya, kita masih memiliki ketahanan. Mungkin Tuhan telah mengatur tekanan panciNya. Tuhan memerlukan waktu untuk menjadikan kita seperti bandeng presto. Ada yang hanya hitungan menit, jam, hari, minggu. Tapi ada pula yang perlu waktu bertahun-tahun. Semua tergantung tingkat kekerasan tulang dan duri kita.

Namun, ada satu yang harus kita yakini. Tuhan mematangkan kita agar menjadi seperti bandeng presto yang enak dan utuh, sehingga bisa menjadi berkat bagi semua orang yang menikmatinya. *** (Leo Wahyudi S)

Photo credit: selerasa.com   

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: