BUKIT CINTA
Seorang sahabat di Kalimantan pernah berkisah bahwa di daerahnya ada tempat yang dinamakan Bukit Cinta. Bukan karena bukit itu dijadikan tempat bercinta oleh para penduduk. Bukan pula karena bentuknya maka disebut bukit cinta.
Ternyata, bukit itu dijuluki Bukit Cinta karena banyak orang yang dapat menjalin komunikasi jarak jauh untuk mengekspresikan cinta. Maklum, daerah itu agak terpelosok sehingga jaringan BTS (Base Transceiver Station) masih minim. Akibatnya jaringan nirkabel yang seharusnya bisa menghubungkan peranti telekomunikasi seperti ponsel ke jaringan operator pun ikut terganggu. Di bukit itulah satu-satunya tempat dimana orang bisa mendapatkan sinyal telekomunikasi. Setiap hari, apalagi sore hari, kata sahabat tadi, pasti ada banyak orang berduyun-duyun untuk menjalin komunikasi lewat ponsel mereka. Kebanyakan memang para muda-mudi. Mungkin mereka hanya ingin berkabar kepada kekasih mereka yang berada di kejauhan. Di bukit itu sinyalnya kuat, sehingga komunikasi nirkabel pun bisa tersambung dengan baik.
Banyak kasus, yang juga saya alami, gegara sinyal jelek lalu kita tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Akibatnya terjadi ‘miskom’ alias miskomunikasi, yang bisa mengakibatkan ngambek-nya pasangan, karena pesan atau panggilan tidak berbalas. Gegara sinyal jelek saya dianggap tidak mau berkomunikasi, tidak mau terbuka, menutupi perselingkuhan, dan bla bla bla kecurigaan lain. Yang lebih parah lagi, karena sinyal ponsel jelek ada kekasih yang patah hati lalu memutuskan hubungan sepihak karena ada prasangka pasangannya sengaja memblokir nomor kontak ponselnya.
Dengan kasus miskom ini, penyanyi bergenre R&B dari Amrik, Sonya Teclai, dikuatkan ‘teori’nya. Ia mengatakan bahwa miskomunikasi adalah akar hampir semua masalah. BTS tidak ada, jaringan nihil, sinyal jelek, fakir bandwidth alias miskin kuota, hape jadul error melulu, dan seabrek alasan bisa menjadi alasan relasi antarmanusia terjadi miskom dalam konteks ini. Maka ada pepatah yang mengatakan bahwa jarak terjauh antara dua orang adalah ketika terjadi gagal paham atau miskomunikasi.
Sesungguhnya ada kebutuhan akan keterhubungan atau koneksi dalam diri kita. Akibatnya, diskoneksi akan membahayakan sebuah relasi. Teknologi sudah menjadi sarana yang membuat kita terhubung. Ini yang dikatakan Brene Brown dalam bukunya “The Gift of Imperfection” (2010). Bahkan teknologi bisa meyakinkan kita seolah sudah terhubung, sekalipun faktanya belum. Dalam dunia yang dimabuk teknologi ini, kita kadang bingung dengan perasaan terkoneksi ini. Apakah kalau alatnya sudah terhubung lalu artinya kita bisa dilihat atau didengar? Belum tentu.
Dalam konteks koneksi dengan Sang Pencipta, kita pun perlu sinyal yang baik. Sinyal yang baik, tentu harus punya kuota yang cukup, akan membuat komunikasi dan koneksi kita dengan Tuhan menjadi lancar. Kita perlu mencari ‘bukit cinta’ agar selalu terkoneksi dan dapat berkomunikasi dengan Tuhan.
Tapi jangan lupa, kita harus tetap menyadari bahwa proses berbicara dan mendengarkan itu sangat rentan terjadi kekeliruan. Karena itu, mungkin pendapat Dorothy G. Bolton dalam bukunya “Listen Up or Lose Out” (2018) bisa kita tanam dalam benak. “Salah satu cara terbaik untuk meminimalisir miskomunikasi adalah dengan memperbaiki cara Anda mendengarkan,” katanya.
Dalam kehidupan spiritual kita, kita mungkin memiliki sinyal baik, ponsel canggih, kuota penuh, jaringan bagus, tapi komunikasi kita dengan Tuhan bisa jadi tetap payah. Mungkin karena kita tidak mau mendengarkan suaraNya.*** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: portalwisata.co.id
Leave a Reply