SURGA?
Saya tertarik ketika melihat sebuah kartun yang menggambarkan dua sosok penting dalam keyakinan Nasrani dan Hindu. Mereka adalah Yesus dan seorang Dewa Hindu yang sedang duduk di awan putih di antara langit biru yang mendominasi bidang gambar. Dalam kartun itu, Sang Dewa Hindu berkata, “Sekarang giliran siapa, Kau atau Aku yang harus turun memberikan penjelasan lagi kepada mereka?”
Di bawah gambar awan itu ada tulisan yang mengatakan bahwa Sang Budha bukan pemeluk agama Budha, Yesus bukan beragama Kristen. Mereka adalah para guru yang mengajar tentang cinta. Cinta kasih merupakan agama mereka.
Kartun itu secara satir menggambarkan betapa cinta kasih itu sudah ditelantarkan sedemikian rupa oleh egoisme, kesombongan, kekuasaan, kebencian, ketamakan. Di tengah peradaban yang dirundung kebencian dan kejahatan ini, kasih menjadi semacam benda purbakala yang sulit ditemukan. Dan, malangnya, perpecahan dan permusuhan itu justru disebabkan oleh agama yang dibingkai rapi dengan fanatisme sempit. Seolah-olah dengan membela agama disamaartikan dengan membela Tuhan Sang Pencipta. Padahal Tuhan tidak pernah menciptakan agama. Agama sejatinya merupakan rekaan manusia untuk melembagakan representasi kekuatan dan kemahakuasaan transenden sebagai awal mula penciptaan. Ujung-ujungnya manusia dituntun untuk menemukan Tuhan. Agama menjadi wadah kelembagaan yang memberi tuntunan bagi manusia tentang nilai kebaikan dan kebajikan untuk menemukan Sang Pencipta.
Ironisnya, banyak kaum religious dari agama apapun yang fanatik membela agama mati-matian dengan darah. Tapi, mereka dan fanatisme tidak pernah menemukan ajaran sejati tentang Tuhan sebagai Sang Cinta dan Keutamaan. Kaum fanatik seolah menobatkan diri sebagai para pemilik surga dengan kebenaran eksklusif yang otoritasnya sudah melampaui kuasa Sang Empunya Surga sendiri.
Seorang kawan yang menjadi guru bercerita ketika ia harus memimpin renungan pagi di sekolah. Dengan tegas ia berkata pada murid-muridnya, “Kalian pikir saya berbuat baik hanya untuk agama? Saya berbuat baik, mengasihi sesama bukan karena iming-iming surga, pahala atau takut akan neraka, tetapi karena cinta saya kepada Tuhan. Kalau kita mengaku punya Tuhan, maka lakukanlah kebaikan pada orang lain, pada diri sendiri. Karena ketika kita berbuat baik, maka kita akan menemukan Tuhan sebagai Sang Kebaikan. Itu saja.”
Kata-kata itu memiliki kedalaman makna. Sampai-sampai para murid yang mendengarkan renungan pagi kala itu terpana tanpa kata. Semoga mereka bisa mencari Tuhan dalam relasi cinta yang penuh kasih dengan teman-temannya.Cinta yang menembus segala sekat agama, suku, ras dan golongan. ***(Leo Wahyudi S)
Photo credit: unitypaloalto.org
Leave a Reply