SEHARI TANPA PONSEL
Seorang istri mengeluh. Ia menyesalkan sikap suaminya saat merayakan ulang tahun. Ia kecewa, karena ucapan selamat pertama kali bukan berasal dari suaminya di momen istimewa itu. “Aku kecewa. Mengapa suamiku dan teman-temannya justru tidak menyapa lebih dahulu orang terdekatnya. Mengapa justru mereka sibuk dengan benda mati itu untuk menyapa orang lain yang berada di kejauhan?” ungkap sang istri itu. ia merasa menyesal tidak dianggap sebagai seorang manusia pada momen yang bagus itu.
Memang sudah menjadi kebiasaan baru bagi orang modern untuk saling menyapa dan mengucapkan selamat jarak jauh. Mereka sibuk memencet-mencet tombol angka dan huruf demi membahasakan sapaan mereka. Saat perayaan hari-hari besar, jumlah orang yang bertepuk tangan semakin berkurang. Tangan-tangan yang seharusnya untuk bertepuk tangan dan berjabat tangan itu kini sibuk bermain-main dengan tombol telepon genggam. Di tombol-tombol itulah mereka bertepuk tangan, berjabat tangan, bernyanyi, bersuka ria, dan berbagi canda.
Telepon genggam telah membuat orang tenggelam dalam dunia tak nyata. Sapaan yang seharusnya nyata pun menjadi hilang ditelan gelombang yang tak kelihatan. Martabat manusia telah hilang. Kemanusiaan mereka hilang karena sudah tergantikan dengan bahasa pesan. Telepon genggam disulap menjadi berjiwa. Orang mendewakan benda teknologi itu sebagai kekasih baru yang harus dipuja.
Dalam era teknologi dan hiperkomunikasi orang cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya untuk media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram daripada harus berhadapan muka dengan orang-orang yang disayangi. Brene Brown dalam bukunya “The Gifts of Imperfection” menyesalkan betapa mudahnya orang menyalahartikan teknologi untuk membangun koneksi, keterhubungan satu sama lain.
Jangankan Sang Maha Pencipta, orang-orang dalam dunia nyata yang dikasihinya pun terlupakan. Simbol-simbol pesan dan bahasa itu telah merenggut martabat manusia. Orang sudah diperbudak teknologi. Bahkan tak jarang orang menganggap telepon genggam adalah dewa baru yang tak boleh ditinggalkan barang sedetik pun. Ia harus dibawa serta dengan segenap hati dan pikiran kemanapun orang pergi.
Sementara itu, komunikasi dengan Sang Maha Empunya teknologi itu acapkali, dan bahkan selalu, terputus. Banyak gangguan pada jalur yang menghubungkan manusia dengan Sang Penciptanya. Anehnya, meskipun selalu terjadi berulangkali, orang yang kecanduan telepon genggam itu tak pernah menyesali dan tak pernah berkeluh kesah. Lain halnya jika jalur komunikasi melalui telepon genggam itu terputus, keluhan, sumpah serapah akan berebut jalur komunikasi itu.
Seandainya dicanangkan hari tanpa HP sedunia, maka popularitas Sang Pencipta akan mendapat saingan berat dengan telepon genggam. Mungkin orang akan kelabakan dan bahkan dibuat gila apabila tidak ada telepon genggam selama satu hari. Mungkin akan banyak orang depresi dan murung. Mungkin pula orang akan linglung kehilangan pegangan hidup. Atau, yang lebih fatal lagi mungkin angka bunuh diri akan meningkat tajam gara-gara ketiadaan telepon genggam.
Orang beralih ke telepon genggam atas kesetiaannya. Bayangkan dengan beberapa kali pencet tombol, segala keinginannya akan terpenuhi dengan cepat. Apapun yang dimaui, entah canda, entah sapa, entah rejeki, entah makanan, semua akan segera menjadi kenyataan.
Orang berdalih, kalau menelpon Sang Pencipta jelas tidak bisa. Mau berkomunikasi lewat doa belum tentu dibalas dalam sekejap. Mau minta rejeki, harus menunggu sampai lupa. Mau berbicara, pasti bukan sebuah dialog dua arah. Karena Sang Pencipta selalu ngumpet dan tak kelihatan batang hidungnya. Belum tentu apa yang dimaui akan diberikan saat itu juga.
Jelas, kemungkinan besar popularitas Sang Pencipta akan turun tangga. Orang lebih repot untuk mencari telepon genggam untuk menjalin relasi dan berkomunikasi. Mungkin dunia akan kiamat kalau tidak ada telepon genggam selama satu hari saja. Tapi mungkin kiamat masih dianggap jauh seandainya Sang Pencipta dianggap tidak ada.
Andai saja ada jajak pendapat mengenai popularitas telepon genggam dan Sang Pencipta, kita mau memilih yang mana? Hanya hati yang jujur kiranya akan tahu jawabannya yang paling tepat.***(Leo Wahyudi S)
(Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Majalah Intisari Online pada: https://intisari.grid.id/read/0367823/sehari-tanpa-ponsel-bisakah, 9 Januari 2012)
Leave a Reply