MUSIM MENSYUKURI
Pemanasan global menjadi isu mendunia. Semua penduduk dunia dibuat risau dan khawatir. Efek pemanasan dari gas rumah kaca telah melelehkan es abadi di kutub. Perubahan-perubahan itu memicu ketidakseimbangan alam. Akibatnya iklim pun berubah-ubah tak tentu. Perhitungan-perhitungan matematis pun ikut berubah, karena prediksi dari hitungan-hitungan itu ikut meleset. Semua mengalami anomali.
Tak terkecuali perhitungan musim di negeri ini pun ikut berubah-ubah. Dulu orang dengan mudah mengantisipasi datangnya musim penghujan dan kemarau. Para petani dapat berhitung antara masa tanam sampai panen, bahkan memeperkirakan hasilnya pun tak meleset jauh. Sekarang kedua musim itu datang sesuka hati mereka. Intensitas kering dan basahnya pun sulit diukur.
Manusia hanya bisa mengeluh. Bahkan menjerit saat musim tak bersahabat. Di musim kemarau mereka menjerit kehausan karena kering berkepanjangan. Di musim penghujan pun mereka mengumpat karena hunian dan harta terendam banjir karena hujan berkepanjangan.
Keluhan dan umpatan manusia seolah tak mengenal musim. Setiap saat di musim apapun selalu ada saja alasan untuk mengeluh. Mata hati manusia kadang terlalu kaku. Ibarat kuda yang diberi kaca mata. Pandangannya hanya lurus ke depan. Kaku dan parsial. Tidak melihat secara keseluruhan. Padahal kondisi berbeda-beda itu diciptakan oleh Sang Empunya Alam sebagai satu paket. Bukan diterima terpisah. Bukan pula untuk dipilih-pilih. Bukan pula untuk dicaci dan dimaki agar pergi. Manusia tugasnya menerima dan memanfaatkannya sebagai suatu berkah hidup.
Sayangnya manusia terperangkap dalam drama serial keluhan dengan episode yang tak kunjung selesai. Alhasil pertunjukan manusia yang tak pernah puas itu selalu menjadi tayangan favorit televisi kehidupan.
Tak ada alasan untuk memilih-milih pemberian Sang Pencipta itu. Semuanya satu dan disebut anugerah, apapun bentuknya. Kalaupun paket anugerah itu rusak, berarti saat membuka dan memegang paket itu caranya kasar. Akhirnya paket itu justru menjadi musibah.
Masih selalu tersedia ruang-ruang kecil untuk memanjatkan syukur biarpun di tengah padang kekeringan. Masih ada bilik kering untuk bersyukur sekalipun di tengah lautan banjir. Di tengah gemuruhnya arus banjir, Sang Pencipta masih dapat mendengar dengan jelas pendarasan syukur itu. Begitu pula di tengah deru angin kering, telinga Sang Maha Pemurah masih sudi mendengarkan nyanyian syukur umatNya.
Hujan turun dengan deras berhari-hari. Disusul gerimis beberapa hari kemudian yang kunjung usai. Langit selalu muram. Semuram rupa manusia-manusia yang tak bisa bersyukur. Ketika tiba harinya, matahari pun mulai tersenyum saat menampakkan wajahnya. Saat kehangatan matahari mulai menerpa seluruh kehidupan, itulah saat tepat memanjatkan syukur tak terhingga. Betapa matahari yang selalu dihujat dan dimaki di musim kering kini dinanti dan dipuji bak aktris pujaan.
Demikian pula air di musim penghujan juga menerima cacian tak henti. Berapa juta mulut yang mengucapkan serapah demi mengusir pergi air di musim penghujan. Berapa puluh juta lagi mulut yang menyanyikan lagu pujian yang paling syahdu demi memuja kedatangan sang air di kala kering berkepanjangan.
Tidak ada setelan pas untuk mulut manusia. Selalu saja berubah-ubah. Ahli mulut dan gigi terkemuka pun takkan sanggup mencari setelan mulut yang pas. Suaranya selalu berubah-ubah dan tak kenal musim. Para pakar musim tak kuasa memrediksi kapan mulut bersuara enak, kapan mulut bersuara pekak.
Sang Empunya Hidup hanya menghendaki satu musim saja, musim bersyukur. Niscaya setelan mulut manusia akan pas dengan komponen syukur ini. Karena suara yang keluar merupakan sebuah dendang syukur.***(WS Leo)
Leave a Reply