
Mellitus
Foto selfie yang dipajang di media sosial itu tampak menyolok. Senyumnya tampak sumringah. Roman mukanya selalu teduh sambil menebar senyum. Wajah dan tampilan fisiknya selalu berimbang. Dandanannya pun selalu modis. Sudah ada banyak yang memberi tanda suka dengan angka 90 di bawah gambar hati berwarna merah. Yang memberi komentar pun tak kalah banyak. Ada beberapa foto-fotonya yang berlokasi di Pulau Dewata yang diunggahnya.
Di kali lain ia mengenakan hijab berwarna cerah. Senyumnya pun selalu menyempurnakan sebuah citra yang ditampilkan sosoknya sebagai perempuan. Aku pun tak pernah segan untuk memberi bintang merah tanda suka dan komentar pendek tentunya. Selalu pula dibalasnya komentarku. “Iyalah, Mas… jalan-jalan terus. Menikmati hidup nih. Mas tahulah maksudku.” Itulah respon atas komentarku yang hampir selalu memuji kecantikan dan aktifitasnya.
Setelah itu, pada saat-saat khusus biasanya ia akan melalui jalur pribadi untuk curhat ke aku melalui media sosial. Panjang sekali ceritanya. Dari ungkapan yang dituliskannya, ketegaran sosok perempuan itu seolah meleleh dan melentur bahkan mengempis laksana ban tertusuk paku. Aku pun sejujurnya sebagai seorang laki-laki selalu memiliki ruang kelelakian sewajarnya saat melihat perempuan menarik. “Kamu itu charming. Senyummu itu yang menawan. Kamu pintar menyembunyikan sesuatu,” begitu komentarku suatu kali. Aku hanya ingin jujur sebagai laki-laki. Meskipun aku tahu dia sudah bersuami dan aku sudah beristri. Bukankah pertemanan perlu kejujuran? Itu yang selalu ingin kuungkapkan apa adanya. Untunglah dia tidak merasa risih dengan pujianku itu.
“Mas, aku ini manusia biasa. Sampai seberapa sih kekuatanku, apalagi sebagai perempuan. Selama ini aku selalu menyediakan ruang-ruang dalam relung hatiku. Ruang untuk menyimpan dokumen permintaan maaf dan pemberian maaf. Semua hanya untuk suamiku. Bahkan dulu selalu kusediakan ruang kosong, saat ruang-ruang lain sudah penuh. Tapi kini ruang-ruang buatanku itu semua sudah penuh. Penuh sekali. Bahkan untuk dijejalkan barang satu lembar maaf sekalipun. Aku tahu dia masih menyayangiku. Aku tahu bahwa dia masih sering main perempuan di luar. Aku tahu bahwa dia sekarang kena penyakit diabetes mellitus. Semua aku terima, Mas. Aku sadar aku tak akan dapat mengubah tabiatnya. Kubiarkan dia berubah. Aku sudah dan selalu memberinya kesempatan. Tapi sampai kapan? Tapi itu dulu.”
Tertegun aku membaca tulisan di whatsapp-nya. “Aku manusia biasa, Mas. Aku ingin melepaskan diri dari dia, meskipun kasihan. Tapi dia tidak pernah mau melepaskan aku. Sama seperti dia tak pernah memberikan hati dan pengertiannya padaku. Apakah aku salah kalau sekarang aku juga ingin membangun ruang dalam hatiku dan hidupku untuk menikmati hidup seperti yang kuinginkan. Kita toh sudah pisah ranjang lama sekali Mas. Aku tidak ingin mencari laki-laki lain. Aku hanya ingin mengalir dan menikmati hakku sebagai perempuan dengan hati seorang perempuan yang layak dicintai dan mendapatkan cinta seorang laki-laki. Mas, apakah aku salah?” Jari-jariku serasa kaku untuk menghentakkan di papan ketik teleponku. Aku hanya terpaku, melihat gambar profilnya. Kutelisik lebih dalam di sorot matanya yang penuh senyum. Kucoba kucocokkan antara sorot mata dan tulisan yang belum juga kujawab.
(Sudah diterbitkan dalam antologi 100 cerita pendek Komunitas Penulis Katolik, Deo Gratias, “Burger Terakhir yang Kubuang”, SatuKata Book@rt Publisher: Malang, 2017:122)
Photo credit: cairogossip.com
Leave a Reply