TOXIC POSITIVITY
Hari-hari yang lalu media sosial dipenuhi dengan foto dan karangan bunga. Foto-foto sahabat, handai taulan, kerabat, keluarga, orang tua dan orang-orang tercinta ditampilkan dengan karangan bunga dan ucapan duka cita. Grup-grup di media sosial pun isinya kurang lebih sama. Berita tentang kesedihan mendominasi jagad maya.
Awalnya rasa sedih, kaget, tidak percaya begitu menguasai perasaan dan emosi kita. Apalagi yang mengenal atau yang menjadi kerabat dekatnya. Air mata kesedihan seolah tak berhenti mengalir. Alih-alih kita semua berjuang untuk menciptakan herd immunity atau kekebalan kelompok, tapi yang ada justru kekebalan terhadap rasa sedih. Akhirnya berita duka sudah tidak membuat duka karena akumulasi berlebih rasa duka akibat kehilangan di masa pandemi Covid-19 yang ganas ini.
Ungkapan duka untuk keluarga, sahabat, teman pun rasanya menjadi ucapan klise. Bahkan seolah kehilangan makna dan rasa. Ungkapan empati dan simpati kepada mereka yang berduka pun terasa klise. Kata-kata positif untuk membangkitkan semangat bagi yang sakit dan berduka pun rasanya hambar. Saya menduga ada banyak orang yang mengalami hal ini.
Di sinilah istilah toxic positivity menemukan konteksnya. Istilah ini sederhananya dimaknai sebagai upaya untuk tetap berpikir dan bersikap positif terlepas dari kenyataan sesungguhnya yang sangat menyedihkan, atau sangat menyulitkan. Ungkapan dan dorongan positif yang kita berikan untuk menyemangati saudara atau sahabat tidak sesederhana kata itu. “Ayo semangat”, “Ayo kamu bisa”, “Tetap positif dan disyukuri saja”, dan ungkapan lain sejenisnya kadang tidak diterima secara positif oleh orang yang sedang mengalami keterpurukan, kejatuhan dan kesedihan. Racun positif atau toxic positivity ini memang bisa menjadi racun, sekalipun itu positif nuansanya.
Ada pula konteks sebaliknya ketika toxic positivity ini justru membuat orang berlimpah dengan rasa percaya diri. Over pe-de karena keyakinan diri, keyakinan agama, dan sebagainya. Anak saya pernah bercerita kenapa orang tidak percaya pada virus corona hanya karena tidak kelihatan. Tapi di sisi lain percaya sekali dengan Tuhan sesuai agamanya yang sama-sama tidak kelihatan. Rasa percaya karena keyakinan agama dan menolak percaya pada corona justru parah akibatnya. Banyak dari mereka yang tidak percaya Covid-19 akhirnya terkena dan bahkan dimatikan oleh virus yang tidak mereka percayai.
Keyakinan positif terkait agama ini bisa menjadi toxic positivity yang tidak realistis. Menafikkan hal duniawi, sekalipun itu wabah ganas, dan hanya percaya hal surgawi dan illahi tetap tidak bisa menghindarkan kematian akibat virus mematikan ini. Sudah banyak contohnya. Kawan saya yang pernah terjangkit Covid-19 bahkan sampai berantem dengan keluarganya yang sangat religius dan hanya mengandalkan Tuhan. Mereka tidak mau tunduk pada hukum manusia dengan aturan protokol kesehatan. Padahal sudah ada contoh dari pemuka agamanya yang akhirnya tumbang oleh Covid-19. Tapi virus toxic positivity ini tetap lebih kuat dibanding realitas kematian akibat pandemi. Masih ada jutaan contoh keyakinan semacam ini sampai hari ini di negeri kita.
Sekarang terserah pada kita. Hal yang positif dan religius ternyata bisa menjadi racun kalau terlalu banyak dikonsumsi dan ditelan mentah-mentah. Kita harus realistis. Orang yang sedang mengalami kehilangan, kesakitan, kesedihan hanya perlu didengarkan emosi negatifnya. Ini jauh lebih berharga daripada menjejalkan kata-kata positif. Orang harus diingatkan untuk taat protokol kesehatan agar selamat, bukan dengan ayat-ayat suci yang menegasikan pandemi. (Leo Wahyudi S)
Gambar diambil dari popbela.com
Mantabs…
Menafikan hal duniawi..bisa jd bahaya…
LikeLiked by 1 person
Hehee..makasih ya
LikeLike