Perlambatan waktu sebagai suatu pengertian yang berlawanan dengan percepatan waktu di jaman serba cepat ini mungkin menjadi alternatif yang menghidupkan. Perlambatan hanya sebuah cara berbeda menghayati waktu di era yang serba bergegas ini.
Perlambatan toh bukan identik dengan bermalas-malasan. Tetapi memperlambat waktu yang selalu terburu dan bergegas menuju sesuatu. Ini merupakan perlambatan dalam menghayati dan mengisi waktu.
Ada seorang ibu yang dirawat di Unit Gawat Darurat karena gagal jantung. Peralatan medis serba canggih pun dipasangkan di berbagai bagian tubuh. Rentang nyawa pun diperpanjang. Kedatangan malaikat maut pun ditunda untuk beberapa saat. Perlambatan memperpanjang kehidupan.
Banyak orang sekarang mencari ketenangann jiwa melalui program-program penenangan diri. Ada yang ikut yoga. Ada yang mendalami tai chi. Mereka seolah ingin mengerem waktu yang selalu tergesa itu dengan meditasi dan penghayatan detik demi detik nafas kehidupan.
Toh dunia kita tidak selamanya menjadi dunia Valentino Rossi atau Hamilton. Mereka adalah juara dunia sejati untuk balapan motor dan mobil formula 1. Mereka harus berpacu untuk merangkum waktu tercepat demi mengukuhkan diri sebagai juara dunia balap motor dan mobil F1. Tidak ada pilihan lain.
Hidup dan masa depannya dihitung detik demi detik. Semakin pendek detik yang tercatat semakin hebatlah reputasi dan posisinya. Semakin melambat semakin terancam masa depannya di dunia balap.
Demikian pula kemajuan teknologi di jaman modern ini. Salah satu tolok ukur keberhasilan adalah kecepatan dan ketepatan dalam memperpendek waktu. Semakin cepat dan sekejap suatu proses, satu temuan teknologi semakin dianggap berhasil.
Teknologi berkompetisi untuk menundukkan dimensi ruang dan waktu. Tidak heran jika muncul ungkapan bahwa keberadaan seseorang di belahan dunia manapun hanya sejauh satu klik pada mouse komputer. Dunia maya hampir menaklukkan dimensi ruang dan waktu.
Teknologi yang masih lambat jalannya mulai ditinggalkan orang. Alat produksi, transportasi tradisional pun sudah tak terpakai lagi. Semakin lambat, semakin orang dianggap ketinggalan jaman. Begitu pula sebaliknya. Semakin melompati proses yang bertahap-tahap, semakin dianggap canggih.
Tapi sesungguhnya, jika direnungkan waktu tidak dapat dikejar. Ia tidak berbentuk dan berupa. Waktu selalu berjalan berabad-abad sesuai jalannya. Tidak kurang dan tidak lebih. Tidak tepatlah ungkapan mengejar waktu. Ia selalu berjalan pada jalurnya. Kecepatannya pun tetap. Toh waktu tidak pernah menuntut manusia untuk mengejarnya.
Ada kalanya kebijaksanaan itu berbuah dari sebuah pohon yang bertumbuh melalui proses. Tidak ada proses yang sekejap untuk mengubah biji menjadi sebatang pohon. Proses yang lambat itu akan menumbuhkan akar, batang, dahan, daun sebelum kemudian menghasilkan buah yang masak. Perlambatan itu telah menghasilkan keutuhan dan kepenuhan sebuah proses.
Memang tak dapat dipungkiri perlambatan maupun percepatan sama baiknya. Satu sama lain saling melengkapi. Tapi ketika hanya satu sisi saja yang dipegang, keseimbangan antara yang cepat dan yang lambat itu terganggu. Yang cepat akan melaju pesat. Yang lambat akan jauh tertinggal tanpa pergerakan berarti. Keduanya bisa berakibat fatal, bahkan tak jarang mengancam jiwa manusia.
Cepat dan bergegaslah jika memang dituntut cepat. Melambatlah jika memang membawa selamat. Waktu tidak pernah menuntut siapapun untuk mengejarnya. Saya tersentuh dengan kata orang bijak, “Waktu ibarat sungai. Kita tidak dapat menyentuh air yang sama dua kali, karena air telah mengallir dan tidak akan lewat lagi. Nikmatilah setiap waktu dalam hidup kita.”
Foto diambil dari independent.co.uk
Luar biasa. Apiiik.
LikeLike
Maturnuwunnn
LikeLike