Suatu ketika seorang kawan kerja menertawakan saya ketika tahu bahwa selama ini penghasilan yang saya peroleh selalu saya berikan kepada istri. Kawan saya heran karena suaminya tidak pernah memberikan seluruh gajinya. Sementara kawan saya sudah biasa menyimpan dan mengelola gajinya sendiri.
Di kali lain saya juga menjadi bahan olokan ketika saya mengomentari kawan saya yang lain yang menyimpan uang berlipat-lipat di selipan dompetnya. Saya hanya heran, mengapa ruang-ruang di dompet yang sempit itu masih dibagi-bagi berdasarkan jenis uang yang berbeda. “Ini uang laki, kalau kamu tahu. Ini istri tidak boleh tahu,” katanya sambil tertawa.
Menghadapi dua pengalaman tersebut, saya menjadi merasa seperti laki-laki dan suami yang bego dan bloon dalam urusan uang. Memang kenyataannya sih demikian. Saya tidak bisa mengatur keuangan. Maka saya mendelegasikan segala urusan keuangan keluarga kepada pasangan saya. Terserah lah orang mau ngomong apa. Tapi nyatanya oke-oke saja. Saya selalu ada uang ketika saya memerlukan. Sesederhana itu. Tapi bagi orang lain hal ini menjadi aneh.
Konon sejarahnya uang logam dipakai sebagai alat tukar tradisional oleh bangsa Yunani pada sekitar 560 Sebelum Masehi. Uang dipakai sebagai alat tukar yang sah. Tapi saya meyakini kalau uang tidak pernah memiliki jenis kelamin. Entah itu perempuan atau laki-laki. Uang adalah uang. Titik.
Uang laki-laki dan uang perempuan merupakan pengelompokan sepihak untuk maksud-maksud tertentu. Uang perempuan biasanya berasal dari pendapatan suaminya, yang kemudian dikelola untuk menghidupi keluarga. Sedangkan uang laki-laki adalah uang bebas di luar anggaran keluarga.
Tetapi kalau direnungkan lebih dalam, pembedaan uang dengan jenis kelamin berbeda itu hanyalah istilah untuk sebuah awal ketidakjujuran. Ini menurut saya pribadi. Uang tidak pernah membedakan siapa tuan yang akan memilikinya. Uang dapat datang kepada siapapun juga.
Uang bisa dimiliki siapapun. Ia hanya mengikut kemana tuannya pergi, dan kepada siapa tuannya menghabiskannya. Uang adalah milik semua orang dan hak semua orang. Uang tidak dapat memilih antara si kaya dan miskin, tua dan muda, laki-laki dan perempuan.
Namun dalam konteks keluarga, ketika uang sudah dibeda-bedakan dan dikotak-kotakkan, ada keseimbangan yang mulai rusak. Istilah uang laki-laki hanyalah bentuk peluang untuk melakukan ketidakjujuran, ketamakan, egoisme, keangkuhan dan kesewenang-wenangan. Para pemegang uang laki-laki itu ingin selalu memuaskan dahaga nafsu. Entah apapun bentuknya.
Dengan mengatasnamakan uang laki-laki, seorang suami seolah mendapat pembenaran untuk berbuat sekehendak hati. Demikian sebaliknya. Pembenaran itu mengakibatkan pengabaian hak orang lain. Keluarga ditelantarkan karena mereka tidak dianggap berhak mempergunakan uang laki-laki. Alasannya, mereka telah mendapat jatah sendiri.
Ketika pembenaran demi pembenaran itu makin menumpuk, maka uang laki-laki akan menjadi kendaraan yang mengantar ke perbuatan-perbuatan yang tidak bijaksana. Bisa jadi uang laki-laki menjadi pintu keluar dari rumah kedamaian. Pembedaan jenis kelamin uang itu hanyalah sebuah justifikasi dan pembenaran atas ketidakjujuran.
Orang bijak mengatakan, “Uang hanyalah alat. Uang akan membawa kemana pun yang kita inginkan. Tapi uang tidak pernah menggantikan posisi kita sebagai pengemudinya.” Jadi semua tergantung kita sebagai pengemudi kendaraan kehidupan kita. Bukan uang, tapi kitalah yang harus memegang kemudi dengan bijak.***(Leo Wahyudi S)
Foto dari dream.co.id
Perumpamaan lainnya “Uang suami adalah uang istri. Uang istri adalah uang istri” 😉
LikeLiked by 1 person