Ikan Sumber Penghidupan di Danau Sentani
Matahari pagi menyiratkan sinarnya sebagian di danau berair biru karena masih terhalang oleh sebagian gundukan-gundukan Pegunungan Cyclops. Di pinggiran, danau yang bening memamerkan keindahan ikan-ikan hias warna-warni yang berlarian di sela ganggang air.
Namun, ketenangan air Danau Sentani terpecahkan oleh riak kecil ketika sebuah perahu kayu kecil melaju tenang di pinggir danau. Seorang ibu mengenakan kain bermotif dekoratif khas Papua sedang terapung tenang di atas perahu kayu itu. Duduknya santai dengan kaki membujur di dalam perahu. Tangannya menarik jala panjang yang rupanya ia pasang. Sesekali tangan kanannya melemparkan ikan-ikan merah sebesar telapak tangan yang ditarik dari jalanya ke dalam perahu. Ibu itu mengerjakannya nyaris tanpa suara gemericik air. Hanya bunyi kecipak ikan tangkapan di dalam perahu yang terdengar.
Ibu itu bernama Magda. Ia mengaku sudah lama tinggal di pinggiran Danau Sentani. Sepeninggal suaminya 13 tahun silam, Magda harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi kelima anaknya. “Saat itu anak bungsu saya masih berumur 3 bulan,” kata Magda.
Danau Sentani menjadi sumber penghidupannya hingga kini. Ia mengaku bisa mendapatkan Rp100.000 sampai RP400.000 setiap hari dari hasil penjualan ikan. “Kalau ikannya besar-besar, satu ekor bisa saya jual Rp50.000,” katanya sembari menunjukkan ikan-ikan merah dan abu-abu yang ia tangkap pagi itu.
“Coba kalau ada laki-laki, pasti cari ikannya sampai ke tengah danau. Saya perempuan tidak kuat kalau mendayung sampai ke tengah,” kata Magda. Karena itu, ia hanya memanfaatkan jaring yang ia pasang di sepanjang bibir danau untuk mencari tangkapannya. Dilihat dari alur perahu kayu, atau bolotu, yang ia dayung, panjang jala yang ia pasang tak kurang dari 100 meter panjangnya.
Saat malam baru mulai menurunkan gelapnya, Magda kembali mengayuh dayungnya. Ia kembali menyusuri jala yang telah ditinggalkan pagi harinya. “Kalau tidak diambil sekarang, ikannya akan mati esok harinya,” kata Magda.
Seperti yang dilakukan pada pagi hari, apa yang dikerjakan di perahu pun tidak mengusik ketenangan air danau yang sudah diliputi gelapnya malam. Mendung tebal yang menggayut di langit tak menghentikan tangannya yang mengurai ikan tangkapannya satu per satu.
“Ini untuk makan dan membiayai sekolah anak saya,” kata Magda tersenyum. Tak tergurat sedikitpun mukanya yang lelah. Ia menceritakan bahwa anaknya yang sulung akan dikirim ke Filipina untuk mendalami studi teologi dari sebuah universitas di Malang. Anak keduanya masih kuliah di Surabaya. Anak ketiga duduk di kelas 3 SMA, berikutnya di kelas 1 SMA, dan yang bungsu kelas 1 SMP.
“Puji Tuhan anak saya sekolah semua,” katanya bangga sambil menunjukkan tangkapannya yang terbesar malam itu. Ikan-ikan Danau Sentani itulah yang menghidupinya. Setelah di ujung penghabisan jalanya, Magda pun segera mendayung perahu kayu tua yang mulai pecah di buritannya.
Danau Sentani membujur di sepanjang bagian selatan Kota Sentani yang merupakan ibukota Kabupaten Jayapura. Luas Danau Sentani 9.630 hektar dengan kedalaman 70 meter. Danau ini dikelilingi oleh perkampungan dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan pertanian.
Danau Sentani merupakan bagian dari Cagar Alam Pegunungan Cycloops (Jayapura) yang luasnya sekitar 245.000 hektar. Pegunungan Cycloops ditetapkan sebagai cagar alam sejak 1995. Danau ini memiliki potensi pariwisata, perikanan, serta irigasi.
Sebagian masyarakat yang hidup menggantungkan Danau Sentani adalah masyarakat asli Papua. Menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah nelayan diperkirakan 45 persen tinggal di wilayah barat, 42 persen di tengah, dan 13 persen di timur Danau Sentani. Jenis ikan tangkapan ada 16 jenis dan 9 jenis merupakan ikan asli. Jenis ikan yang sering dijumpai adalah ikan rainbow (hewu), gabus putih, gabus hitam. Ikan gabus ini menurut Magda bisa sampai Rp150.000 harganya kalau besar.
Jumlah hasil tangkapan diperkirakan 1.823,52 ton tiap tahunnya. Hasil tangkapan nelayan rata-rata sekitar 4,7 kg per hari atau baru 18 persen jika dibanding potensi per tahunnya. Padahal potensi produksi diperkirakan LIPI sebesar 8.922,8 ton tiap tahun.*** (Leo Wahyudi S)
*Artikel ini pernah diterbitkan di website resmi Badan Pengelola Reduksi Emisi, Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP REDD+) pada November 2014.
Leave a Reply