Inspiration

PANAS NGGAK BAYAR

Akhir-akhir ini orang merasakan cuaca panas yang luar biasa. Orang yang hidup di kota besar sudah biasa merasakan suhu siang hari yang berkisar antara 28-30 derajat Celcius. Tapi ketika suhu itu memanas bahkan sampai 39 derajat Celcius seperti yang terjadi di Semarang pada 22 Oktober 2019, reaksi orang akan luar biasa.

Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa cuaca panas ini terjadi karena ada pergerakan semu matahari ke arah selatan Khatulistiwa. Akibatnya, atmosfer yang panas membuat pertumbuhan awan terhambat. Padahal seharusnya dapat menghalangi panas terik matahari. Dampaknya, radiasi matahari yang diterima relatif menjadi lebih banyak di permukaan bumi di wilayah Indonesia bagian selatan, sehingga akan meningkatkan suhu udara pada siang hari.

Dampak yang ditimbulkan pun dapat ditebak. Dimana-mana orang yang beraktifitas di luar rumah akan mengeluh dan menggerutu tiada putus. Gerutuan ini pun sifatnya lintas batas suku, agama, ras dan golongan. Hampir semua orang mengeluh tentang suhu yang teramat panas ini.

Saya tergelitik dengan pengalaman sahabat saya yang bekerja sebagai penjahit. Di tengah hari yang terik, ia kedatangan kliennya untuk mengambil baju yang sudah dipermak. Dari tampilan fisiknya, kliennya punya ciri pemeluk agama yang kuat. Begitu duduk sambil menunggu jahitan selesai, kliennya langsung nyerocos dengan gerutuan yang mengutuk suhu panas yang menyiksa tubuhnya siang itu. Keluhan dan kutukan itu menemani sahabat saya yang sedang menyelesaikan jahitannya.

Melihat lagak kepanasan kliennya, sontak sahabat saya pun nyeletuk, “Panas nggak bayar kok mengeluh terus sih, Pak? Coba kalau sampeyan harus bayar biar bisa merasakan panas matahari, apa nggak lebih pusing? Ini diberi panas gratis, bukannya bersyukur malah mengeluh terus. Manusia itu memang aneh.”

Saya renungkan kebenaran celetukan sahabat saya itu. Ternyata kita yang hidup di negara tropis ini seharusnya bersyukur bisa merasakan panas matahari sepanjang masa. Bayangkan jika kita hidup di kota yang tanpa matahari sepanjang tahun seperti di Rjukan, Norwegia, karena terletak di sekeliling lereng dan tebing yang selalu menghalangi sinar matahari. Atau, kota Utqiagvik di Alaska yang suhunya ‘hanya’ 5 derajat Celcius di musim panas. Itupun hanya ada sinar matahari selama 3-6 jam sehari. Saya tidak berani membayangkan seandainya kondisi semacam ini terjadi di Indonesia yang berlimpah-ruah sinar matahari sepanjang tahun.

Saya jadi teringat tulisan Rhonda Byrne dalam bukunya “The Secret” yang mengatakan bahwa matahari hanya bisa eksis ketika ia memberi terang dan kehidupan. Seandainya saja matahari suatu pagi berkata bahwa dia sudah lelah untuk memberi terang dan kehidupan, apa yang akan terjadi? Matahari akan berhenti memberi hidup. Ia tidak akan eksis lagi. Menurut Byrne, esensi dari alam semesta ini adalah memberi. Kalau tidak bisa memberi, maka ia tidak akan pernah eksis.

Panas, dingin, basah, mendung, semua merupakan fakta pemberian yang kita alami dengan indera kita sebagai makluk hidup. Tugas manusia hanya menjalani dan menerima pemberian alam semesta dengan sikap syukur. Kalaupun kepanasan, toh kita punya akal budi untuk memilih diam dan mencari tempat berteduh sambil minum air yang banyak. Tidak ada hal rumit yang harus dikeluhkan setiap detik saat mengalami cuaca panas. “Masih untung kita bisa merasakan panas. Udah gitu, gratis lagi,” kata sahabat saya sambil tersenyum sambil menyeka keringat yang membanjiri tubuhnya di siang terik itu.***

Credit photo: sains.kompas.com



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: