Telepon saya berdering sebagai penyambut pagi di Jogja. Cukup mengagetkan karena sepagi itu ada telepon dari seorang sahabat yang sedang tergolek di ruang isolasi IGD. Hati saya was-was, menyiapkan telinga untuk berita terburuk.
“Halo, Ndul. Sori aku tidak bisa ikut reuni. Padahal aku pengen sekali ikut, bisa ketawa dan hura-hura bareng. Aku juga pengen ketemu teman-teman untuk mengucapkan terima kasih karena aku sudah dibantu saat ambruk di rumah sakit tempo hari. Aku pengen ikut reuni karena aku kangen pisuhanmu (makianmu), Ndul,” kata Peyang, sahabat saya dengan terbata-bata sambil tergolek di tempat tidur rumah sakit, karena jantungnya error, paru-parunya terendam cairan, dan selang-selang infus dan oksigen yang menusuk kulitnya.
Mendengar suara hati di ujung telepon itu perasaan saya campur aduk. Senang karena dia masih hidup karena masih bisa telepon. Prihatin karena memang dia ambruk total karena kondisinya lumayan kritis. Kaget karena dia punya permintaannya yang aneh. Dia hanya ingin dimaki-maki. “Jangan-jangan ini permintaan terakhir,” sempat terlintas di benak saya.
Tanpa berpikir panjang, saya segera memenuhi permintaannya itu, mumpung masih bisa mendengar. “Asu, bajingan, dancuk kamu. Kalo mau hidup, hiduplah. Kalau mau mati, ya matilah. Kamu memang asu bajingan bener, Pey!” mulut saya mengeluarkan mantra ampuh dengan penuh penghayatan. Saya hanya berpikir mulia, inilah wujud pelayanan saya agar teman saya bisa hidup.
Sontak, di ujung telepon terdengar suara Peyang. “Hahaha…aku seneng banget, Ndul. Aku lega sudah mendengar pisuhanmu yang khas… Dadaku terasa lega sekarang…hahaha,” suara Peyang terbata-bata, sambil batuk-batuk. Saya bayangkan dia gembira dan makin berkurang sakitnya.
Tiga puluh enam tahun sudah kami menjalin persahabatan berkat sekolah berasrama. Kedekatan di antara kami tak beda jauh antara kami waktu masih pakai sandal jepit dan celana kolor murahan saat kami saling bertemu pertama dan saat ini ketika kaki sudah jarang menyentuh tanah lantaran sepatu dan sandal mahal dengan pakaian bermerek. Hanya umur dan tampilan fisik kami yang membedakan antara anak enam belas tahun kala itu dan bangkotan lima puluh dua tahun saat ini. Selanjutnya, kelakuan, gaya omong dan isi mulut yang keluar, kedekatan hati, semua masih sama. Kami semua tetap dekat di hati.
Maka pada momen reuni alumni Seminari Mertoyudan Angkatan 1986-1990 kali ini sungguh menjadi momen yang mengajak kami semua merenung bahwa kami memulai hidup baru dengan semangat baru pada saat pertengahan abad, ketika senja mulai mendekat.
Saya terkesan dengan kata-kata Carlos P. Romulo, mantan Ketua Sidang Umum PBB, diplomat, wartawan, tentara asal Filipina. Ia mengatakan, “Brotherhood is the very price and condition of man’s survival”. Maknanya kurang lebih, “Persaudaraan itu sangatlah berharga, sekaligus prasyarat agar manusia tetap dapat hidup.” Kata-kata Carlos ini sangat relevan dengan apa yang kami alami saat berkumpul merayakan kebersamaan dan persaudaraan di usia ke-50 plus plus.
Kami sepakat, di usia emas ini, kita telah membawa harta hidup yang sangat berharga, yaitu persaudaraan. Dulu kami terpanggil untuk menjadi pemimpin. Sekarang kami menghidupi panggilan kami dengan menjadi saudara dan sahabat satu sama lain. Kami menghayati peran kami masing-masing dalam bidang profesi sesuai talenta. Namun kami juga menghayati peran kami masing-masing sebagai saudara dan sahabat di komunitas kami. Ada yang menjadi tempat pembuangan sampah dan pendengar. Ada yang menjadi tukang pemberi wejangan, tukang perintah, penjaga moral, sinterklas, penghibur, pesuruh, tukang misuh, dan sebagainya.
Kami sempat mengalami jatuh bangun dalam mempertahankan persaudaraan ini. Bahkan hampir terjadi perpecahan gegara uang dan motif ekonomi. Namun persaudaraan tetap unggul. Kami selalu merasa dikuatkan oleh ikatan persaudaraan, karena ada kasih yang saling menerima, saling menguatkan, saling membantu. Kami menghidupi panggilan kami untuk menjadi saudara dan sahabat satu sama lain, tanpa ada sekat dan diskriminasi. Itulah persaudaraan kami, ketika makian “asu” jauh lebih mulia daripada motif ekonomi dan uang yang tak pernah kenal saudara. Asu sangat menguatkan ikatan persaudaraan dibanding daging asu yang memanaskan mulut dan perut demi memenangkan ego. Mari kita saling membangun niat untuk tetap menghidupi persaudaraan ini. Di usia senja ini, kita perlu asupan senyuman dibanding amplopan. Kalaupun mati, paling tidak mati dengan tersenyum bangga atas persaudaraan ini saat menyambut Sang Khalik. Merto 8690, kami bangga bersamamu. ***
Leave a Reply