Literature

OBROLAN OJOL SORE ITU

Sisa aroma hujan masih menyelimuti kabut pagi. Hawa sejuk mendinginkan suasana pagi di tengah bangunan-bangunan kompleks yang rapat. Kesegaran menyelisik di antara beton dan pepohonan perindang yang masih tersisa. Matahari seolah tak serajin biasanya. Padahal, bukan karena ia malas menggelontorkan sinarnya, tapi kabut tipis pagi itu rupanya menunda sentuhan sinarnya di tanah basah. Seolah sang kabut tak rela untuk terusir pergi oleh kehadiran sinar mentari.

Kopi pagiku masih mengepulkan aromanya yang khas. Kopi Arabika Aceh Gayo memang sangat khas dan pas di mulutku selama ini. Aku penikmat kopi. Tapi selalu merasa minder ketika aku ketemu dengan teman-teman yang jago dalam soal per-kopian. Mereka tahu sampai sedetil-detilnya soal kopi. Dari pembibitan, pemanenan, pengolahan, penjualan, sampai penyajian. Rasanya terlalu teoritis untuk aku yang tidak tahu apa-apa tentang kopi, kecuali rasa yang mampir di mulutku. Ternyata anakku pun belajar tentang kopi. Sampai suatu pagi, aku minta tolong untuk dibuatkan kopi, bukan kopi yang aku dapat, tapi kotbah sok ilmiah yang membuat selera ngopi-ku hilang.

“Ayah hanya butuh kau buatkan secangkir kopi kesukaan ayah, nak. Bukan kotbah ilmiahmu tentang kopi dan cara penyajian yang aneh-aneh dengan alat mahal itu,” kataku pada anakku.

“Tapi ayah harus tahu kalau mau bikin kopi enak ukurannya harus begini, teknik penyaringannya harus begini …” kata anakku seperti merasa paling pinter. 

“Ayah hanya penikmat kopi yang sederhana, bukan pakar soal kopi. Sudah sini ayah saja yang bikin,” kataku kesal sambil membuat secangkir kopi kesukaanku. 

Sayang kopi pagi ini adalah kopi terakhir dari stok yang tersisa. Seharusnya istriku sudah membelikannya dari kemarin di sebuah kedai kopi langganan. Istriku ternyata sedang ngambek. Kemarin berantem dengan adiknya yang kawin dengan ekspatriat dengan anak-anak blasteran yang cakep-cakep. 

Persoalannya sederhana. Ini sebetulnya perbenturan dua karakter dan prinsip hidup yang berbeda sehingga menimbulkan gesekan. Hidup yang ekonomis adalah prinsip adik iparku. Mengeluarkan biaya sesedikit mungkin dengan manfaat sebesar mungkin seolah mandarah daging. Ketika prinsip ini diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari, seolah kita melihat ironi. Suaminya yang ekspat suka nongkrong di café mahal. Dia dan anak-anaknya suka travelling, meskipun dengan memilih akomodasi dan transportasi semurah-murahnya. Pengennya selalu irit, tapi maunya ngibrit jalan ke mana-mana, bahkan sampai manca negara. Makan selalu yang berselera tinggi dan wah, tapi dengan harga yang miring, bahkan kalau bisa ditawar. 

Lain dengan kakaknya. Orangnya simpel dalam menghayati hidup. Hidup jangan merugikan. Sukur-sukur bisa berbuat baik sama orang. Apapun bentuknya itu. Soal duit juga lain prinsipnya. Semuanya mengalir saja, karena toh berkah hidup selalu ada. Rejeki tidak pernah salah alamat. Itu yang selalu diyakini sampai sekarang. Kakaknya selalu ingin berbagi dengan orang lain. Bahkan saat tidak ada yang dibagi pun ia selalu ingin berbagi. “Memberikan dari kekurangan itu malah berkah,” katanya pada suatu ketika kita harus membantu orang saat kita tidak memiliki rejeki lebih untuk diberikan. Beruntunglah aku sebagai suami yang mendapatkan pasangan tidak banyak menuntut. 

Kebetulan pagi ini aku terpaksa mendapat kehormatan untuk mendengar selisih pendapat antara istriku dari hape yang dispeaker keras. Rupanya itu babak lanjutan dari peristiwa kemarin malam.

“La, kenapa sih pemerintah ini, pakai acara naikin iuran BPJS segala? Rakyat sudah susah, malah dibikin susah,” celoteh pembuka Gita di ujung telpon pada Lila, kakaknya yang juga istriku.

“Kamu lihat dong secara keseluruhan. Jangan berpandangan sempit seperti itu?” sahut Lila.

“Maksudmu gimana sih? Orang sudah jelas iuran dinaikin, kok malah diem aja sih. Kan itu nyusahin rakyat namanya. Termasuk kita-kita juga yang kena imbasnya,” Gita mulai sewot.

“Dinaikin itu toh semua akan kembali ke kita juga. Kamu nggak mikir kalau BPJS justru membantu kita?”

“Ah, pokoknya aku keberatan. Sudah bayar, nggak pernah makai, ngapain harus bayar?”

“Hidupmu itu bareng orang lain. Bukan hidup kamu sendiri. Justru kamu harusnya bersyukur kalau tidak pernah menggunakan fasilitas BPJS. Artinya kamu sehat.”

“Terus terang aku nggak suka. Bayangin berapa duit aku harus bayar untuk sekeluarga setiap bulan. Mahal tauk!”

“Dibandingin sama kamu kalau dugem di café yang sekali duduk bisa habis 500 ribu. Terus beli pakaian anak-anakmu yang harus mahal itu berapa? Nyataya kamu mampu dan nggak pernah ngeluh tuh. Realistis aja, Git. Giliran iuran yang tak seberapa dibanding penghasilanmu dan gaya hidupmu, kamu keberatan. Aneh kamu tuh.”

“Intinya aku keberatan. Aku pengen pindah kelas aja lah, biar ringan bayarnya. Ke kelas tiga.”

“Ya ampun. Kamu kenapa sih, Git. Merendahkan martabatmu sendiri. Kamu kan orang mampu. Kamu layak di kelas satu karena kamu bisa mbantu pasien yang di kelas tiga. Lagian, kalau kamu pindah ke kelas tiga, berarti kamu merebut hak orang lain yang, maaf, tidak semampu dan sekaya kamu,” sergah Lila tak kalah sewot.

“Ah, udah…udah. Males aku. Pokoknya aku mau pindah kelas tiga. Titik.” Tiba-tiba telpon terputus. Lila bengong sambil memegang hapenya. Mukanya masih terlihat raut kekecewaan atas sikap Gita, adiknya. “Dasar orang pelit!” kata Lila dengan nada kesal.

***

Sore itu aku sengaja pulang agak telat dibanding biasanya. Sambil membonceng ojek online, pikiranku masih menerawang pada salah seorang sahabatku yang sedang bermasalah dengan jantungnya. Untuk menyambung hidupnya dia ternyata harus dipasangi tiga ring. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia menanggung biayanya yang pasti luar biasa besar. Padahal aku tahu, dia sering ke rumah hanya untuk sekedar bisa makan dan minum yang lain dari makanan di rumahnya yang terbatas. Belum lagi tanggungan utangnya yang seakan tak berujung. 

Tapi untunglah, sore itu aku bisa pulang dengan senyum. Entah apa namanya. Bahagia mungkin. Pesan singkat dari saudaranya baru saja mengabarkan bahwa urusan rumah sakit sahabatku ternyata sudah beres. Semua ditanggung BPJS katanya. Aku ikut lega. Minimal harapan hidupnya akan lebih panjang, karena tidak perlu menambah beban utang gegara pasang ring. 

Akhirnya untuk membunuh sepi aku sempatkan mengobrol dengan tukang ojek online. Marno namanya. Aku sempat bercerita soal sahabat yang sudah tertolong oleh BPJS Kesehatan. Dia pun tampak antusias mendengarkan ceritaku di tengah keriuhan kendaraan orang pulang kantor sore itu.

“Betul, Pak. Saya juga ikut BPJS. Saya, alhamdulillah, rajin bayar iurannya, meskipun harus menyisihkan dari penghasilan saya dari ngojek seperti ini. Tapi kan itu namanya kewajiban ya, Pak,” kata Pak Marno.

“Wah, Pak Marno warga teladan. Salut saya, Pak,” sahut saya.

“Ya, nggak gitu lah, Pak. Namanya kita kan hidup saling tolong menolong. Saya bayar BPJS bukan karena berharap kalau saya sakit bisa dibantu. Tapi saya hanya mikir bahwa saya bisa mbantu orang lain. Kan iuran saya bisa dipakai orang yang membutuhkan to, Pak. Ya, semoga kita diberkahi sehat terus, kita bisa terus beramal untuk orang lain,” kata Pak Marno sambil tertawa.

Aku terhenyak mendengar jawaban itu. Jawaban menohok karena maknanya yang dalam dari seorang tukang ojek. Rasanya malu kalau ingat keberatan adik ipar tempo hari. Sebenarnya aku ingin melanjutkan pembicaraan itu dengan Pak Marno. Sayang aku sudah sampai di stasiun Tanah Abang. 

Di kereta, aku langsung chatting dengan istriku. Kuceritakan semua soal Pak Marno. Aku juga teringat kata-kata seorang motivator dari Inggris, Simon Sinek. Katanya, “Jangan memberi untuk mendapatkan. Memberilah agar orang lain tergerak untuk ikut memberi.” Kata-kata itu langsung kukirim ke istriku supaya diteruskan ke Gita, adiknya.

***

Oleh: Leo Wahyudi S

Gambar diambil dari cnnindonesia.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: