Tuhan Digital di Era Millenial
Gereja Katolik terlalu nyaman dan selalu merasa aman di balik temboknya yang tinggi. Gereja terlalu menikmati zona nyaman sehingga enggan untuk keluar dari gerbangnya yang kokoh. Gereja selalu abu-abu dalam bersikap. Apalagi ketika bersinggungan dengan hal-hal yang berbau politik. Tidak pernah tegas dan bahkan dianggap ‘cemen’ atau pengecut dalam menentukan sikap.
Pernyataan-pernyataan tersebut ironisnya diungkapkan oleh tokoh muslim moderat beberapa tahun silam yang selalu saya ingat. Beberapa sahabat muslim pun kurang lebih mengungkapkan impresi serupa terhadap keberadaan Gereja dan umat Katolik dewasa ini. Saya seolah merasa tertampar oleh pernyataan ini, meskipun akhirnya harus mengakui sebagian besar kebenarannya.
Kritik lain juga datang dari seorang pastur yang juga aktifis. Alih-alih terbuka dan tunduk pada ajaran untuk rendah hati, tetapi sesungguhnya gereja Katolik selalu bersikap keras kepala dan antikritik, apalagi auto kritik. Gereja sekarang dianggap gagap dalam beradaptasi dengan perubahan jaman dan teknologi yang makin berkembang. Inilah yang terjadi di Gereja Katolik. Selain itu, Gereja amat ‘alergi’ terhadap politik sehingga tidak memiliki pendidikan politik dan kaderisasi politik.
Kritik publik dari saudara non-muslim dan klerus ini sangat kebetulan sama dengan apa yang menjadi keprihatinan Paus Fransiskus. Gereja dewasa ini tak lebih sebagai sebuah institusi yang sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak berbuat apa-apa, sekalipun selalu berkilah telah melakukan apa-apa. Dalam kondisi ini, Gereja menjadi self-referential church (Rukiyanto, 2018) yang hanya berpusat pada dirinya. Tak kalah pedas dengan kritikan seorang tokoh muslim di atas, Paus mengingatkan bahwa Gereja sudah kehilangan daya misioner, sibuk dengan dirinya sendiri dan mencari rasa aman bagi dirinya.
Sementara, di luar zona nyaman Gereja ada hamparan luas kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi dan segala jenis penyakit sosial berikut carut-marut kehidupan bernegara yang dipenuhi korupsi dan intrik-intrik politik identitas. Umat Katolik pun sekarang cenderung menjauh dari dunia politik. Padahal semua aspek bernegara sampai dengan kebijakan dan perumusan undang-undang dibuat secara politis. Melihat situasi semacam ini pun, ironisnya, Gereja malah sibuk merumuskan bahasa-bahasa pesan yang abu-abu dan tebal dengan kemasan yang halus dan mulia agar tidak tertangkap radar bahwa Gereja berpolitik. Gereja terjebak sendiri oleh sikapnya yang menjauhi ranah politik, tetapi kenyataannya selalu bersinggungan dan bahkan hidup sebagai bagian integral dari sistem politik negara.
Gereja dan Kaum Millenial
Setelah kritik pedas di atas, saya kembali tertohok sampai ke ulu hati rasanya. Pasalnya ada seorang anak kelas dua SMP yang tiba-tiba mengungkapkan perasaannya yang jujur. Intinya dia malas untuk pergi ke gereja karena melihat banyak orang di suatu lingkungan yang dia istilahkan ‘mabuk’ gereja. Mereka sangat sibuk dengan semua urusan gereja, tetapi sikap kesehariannya tidak sesuai dengan ‘kesucian’ yang ditunjukkan dari intensitas dan aktifitas mereka di gereja. “Orang yang mabuk gereja itu banyak yang munafik,” katanya polos.
Remaja millennial ini tidak bisa diremehkan begitu saja. Penelitian Pew Research Center di Amerika pada 2015 menemukan bahwa 35 persen kaum millennial sudah resisten terhadap praktik-praktik keagamaan yang cenderung formalistis, otoritatif karena cenderung mengatur dan membatasi gaya hidup mereka. Agama dipandang tidak relevan lagi dengan kehidupan mereka. Penurunan praktik keagamaan Kristianitas dianggap telah menurun jauh selama 19 tahun terakhir (Barna Research, 2020).
Pesatnya kemajuan teknologi meningkatkan kehidupan digital, termasuk media sosial, krisis ekonomi, perubahan sikap terhadap persoalan-persoalan sosial menjadi salah satu penyebab para generasi muda makin menjauh dari agama. Di abad digital ini orang makin kebal karena stimulasi konstan dari media digital. Orang menjadi narsis sampai-sampai orang begitu terserap sedemikian rupa di dalam sebuah sistem tertutup (closed system). Akibatnya, dalam stimulasi digital ini orang tidak bisa lagi melihat segala hal dari luar jaringan digital. William Indick (2015) dalam bukunya The Digital God mengatakan bahwa Dunia digital bagaikan cermin raksasa yang membuat orang kebal terhadap dunia virtual dan buta terhadap dunia nyata.
Dalam konsep agama tradisional, menemukan Tuhan harus dialami secara personal melalui refleksi ke dalam diri. Namun tidak demikian di jaman digital. dunia modern sudah terjejali dengan eksternalitas dengan sensasi eksternal(Indick, 2015). Konsekuensinya, kalaupun di sana ditemukan Tuhan, maka tuhan itu merupakan Tuhan Digital. Internet akan membangkitkan sebuah bentuk baru dari persepsi spiritual dari Tuhan Digital itu. Tuhan menjadi tuhan virtual di jagad digital. Maka tak heran kalau anak millennial sekarang makin menjauh dari praktik religius di Gereja karena sudah menemukan tuhan virtual dengan jaringan digital. Dalam spiritualitas virtual ini para pengguna internet saling dapat berbagi tentang gambar, simbol, dan sebagainya. Tuhan yang abstrak dan jauh seolah bisa ditemukan dalam dunia spiritual virtual. Dengan demikian, menurut Indick, Tuhan Digital tidak hanya bertemu satu muka secara personal, tapi milyaran netizen di jagad maya yang memberikan rasa pembenaran.
Kaum milenial kini sedang menghadapi jaman yang serba maju sekaligus membingungkan. Nilai dan etika menjadi relatif sehingga garis pembeda antara benar dan salah makin kabur dan membingungkan (Wildes, 2017). Perjalanan pencarian spiritual pun mengalami perubahan. Pengalaman spiritual kemanusiaan mengalami perubahan besar, meski masih dalam batasan humanisasi dunia, perjuangan bersama dunia dan penaklukan dunia. Alternatif-alternatif spiritual pun sudah tidak mampu memenuhi ambisi spiritual kemanusiaan di jaman modern ini (Unger, 2014).
Wajah Gereja yang diharapkan
Paus Fransiskus selalu mengingatkan bahwa ciri utama dan identitas Gereja adalah misioner (Rukiyanto, 2018). Konsekuensinya Gereja harus berani keluar untuk beradaptasi dan membaur dengan berbagai kalangan tanpa ada pembedaan. Paus ingin Gereja tidak hanya tenggelam dan diam di balik tembok kokoh yang sunyi dan suci yang hanya pandai menyusun kata dan retorika tetapi gagal mengemban amanatnya sebagai pewarta yang seharusnya ikut menata peradaban.
Gereja yang diharapkan ini memerlukan keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan bergerak bersama masyarakat, tidak hanya umat. Di Indonesia ada 10 provinsi Gerejawi untuk 37 Keuskupan. Gereja di pusat kota seperti Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ini dapat dikatakan membawa keistimewaan karena berada di pusat pemerintahan negara. KAJ berada di antara 8,5 juta populasi di Jakarta sehingga tidak berlebihan jika ini menjadi etalase pemodelan umat dan Gereja Katolik. KAJ mau tidak mau harus menyesuaikan perubahan jaman digital dengan segala keutamaan dan karya nyata, bukan retorika (walk the talk). Sudah saatnya, Gereja Katolik, khususnya KAJ, harus menjadi contoh nyata (living example), tidak hanya sampai rentang waktu 2025, tetapi di seluruh lorong waktu di masa depan.
Gereja harus mau berubah dan mau menghargai, melibatkan dan memberi kepercayaan kepada kaum millennial. Kaum millennial sekarang jumlahnya 24 persen dari sekitar 270 juta populasi Indonesia (Tempo, 2019). Merekalah para pemimpin masa depan yang akan membawa bangsa dan Gereja. Pada 2030, ada sekitar 68 persen angkatan usia produktif (15-64 tahun) dari total populasi Indonesia sebagai generasi emas dari bonus demografi. Gereja harus membuka mata terhadap kenyataan ini dalam membangun arah langkahnya.
Indick mengkritisi bahwa Manusia Digital jaman ini menjadi sesuai dengan apa yang ia lihat. Menurutnya, Facebook menjadi identitasnya yang melekat. Twitter menjadi suaranya. Instagram menjadi matanya. Dunia digital menjadi cermin yang memantulkan gambaran dirinya sendiri. Gereja harus bisa mengambil alih dirinya seperti Manusia Digital. Artinya, apa yang dilihat kaum millennial di berbagai platform media sosial adalah mereka dan representasi Gereja Katolik yang nyata. Mereka menjadi imaji integral dalam dunia digital.
Langkah dan karya nyata, bukan retorika
Menurut Unger (2014), agama di masa depan memerlukan resolusi yang jelas dan terarah sehingga perlu dideskripsikan kembali dengan tepat. Kalau sampai salah, agama hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur dan sebuah penipuan. Jika masih tetap diingkari maka agama tidak akan pernah berubah dan tidak akan pernah menjadi panutan ke arah kehidupan yang lebih baik. Karena itu ada beberapa hal nyata yang perlu segera diadopsi Gereja, khususnya KAJ, sebagai langkah selama 10 tahun ke depan.
Disrupsi pelayanan dan karya Gereja. Disrupsi bukan sekedar gangguan, tetapi lebih pada sikap Gereja untuk mau berubah dan keluar dari kemapanan. Gereja harus melihat disrupsi ini sebagai inovasi dan adaptasi terhadap perkembangan dan perubahan jaman. Disrupsi karya ini dilakukan dengan merangkul dan memberikan kepercayaan kepada kaum millennial. Pendekatan terhadap kaum millennial ini harus khusus, Gereja tidak bisa serta merta mendiktekan dogma dan doktrin kaku. Karena kalau demikian, kaum millennial akan semakin menjauh dari lembaga agama dan praktik-praktik keagamaan. Dan tren ini bukan isapan jempol, karena sekarang kaum millennial sudah dalam proses menjauh dari agama.
Mengolah big data dan membangun platform untuk karya nyata. Tatanan dunia baru saat ini didominasi oleh realisme dan persaingan pasar bebas. Persaingan pengolahan data menjadi penguasa, bukan lagi ideologi agama dan keyakinan religius. Harari (2015) mengatakan bahwa kaum muda sekarang diberi banyak opsi di tengah revolusi humanisme di abad digital. Para pemeluk agama sibuk bereaksi terhadap inovasi dan teknologi. Kitab Suci hanya menjadi sumber otoritas, bukan sumber kreatifitas. Akibatnya, dalam agama data di masa depan, instititusi religius akan makin ditinggalkan. Dalam hal ini, Gereja perlu mendorong kaum millennial untuk mengolah maha data (big data), memanfaatkan dan menguasainya melalui platform-platform yang membuat eksitensi mereka terakomodasi melalui karya-karya humanisme yang sejatinya membawa spirit pelayanan Gereja Misioner seperti yang diimpikan Paus Fransiskus.
Berani keluar dan merangkul kaum religius moderat di luar Gereja. Gereja harus hadir di tengah umat dan masyarakat. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa Gereja cenderung terjebak dalam bahaya klerikalisme (Rukiyanto, 2018) yang cenderung mementingkan supremasi dirinya, haus kekuasaan dan kehilangan kepedulian nyata. Saya teringat pesan seorang haji yang mengritisi Gereja, katanya, “Mari kita jadikan diri kita sebagai alat untuk berbaur. Inilah waktunya kita untuk membaur, terlibat, dan peduli. Jangan pernah merasa takut sebagai minoritas. Negeri ini akan rusak, karena banyak orang baik yang hanya diam.” Maukah Gereja, khususnya KAJ bergerak dan keluar dari zona nyamannya?*** (Leo Wahyudi S)
Bahan bacaan
_____. (2019). Report: 89% Millenials Optimistic About Indonesian Diversity. Diakses dari https://en.tempo.co/read/1166812/report-89-1-millennials-optimistic-about-indonesian-diversity
Barna. (2020). Signs of Decline and Hope among Key Metrics of Faith. Diakses dari
Harari, Yuval N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.
Indick, William. (2015). The Digital God: How Technology Will Reshape Spirituality. USA: McFarland & Company. Inc. Publishers.
Rukiyanto, B. A. (2018). Gereja Menurut Paus Fransiskus dalam Utama, Ignatius L. M. (Edt.), (2018). Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang.Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Unger, Roberto Mangabeira. (2014). The Religion of the Future. USA: Harvard University Press.
Wildes, Rabbi Mark. (2017). Millennials and Religion: A New Perspective. Yang diakses dari https://www.huffpost.com/entry/millennials-and-religion-a-new-perspective_b_59480034e4b0961faacbe57c
Foto diambil dari amazon.com
Leave a Reply