COVIDIOT JILID DUA
Dua bulan lalu ketika otak saya belum terimbas lockdown, saya menulis tentang Covidiot. Istilah baru ini untuk menggambarkan orang-orang yang bebal, antiaturan dan tidak mau diatur ketika pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan sosial (social distancing) serta protokol kesehatan demi memutus rantai penularan Covid-19. Kala itu, banyak sekali orang yang masih berjalan dengan dagu tegak, karena merasa tinggal di negara tropis dan kebal terhadap virus. Ancaman dan laporan kematian akibat Covid-19 hanya menjadi angin lalu.
Kini, menurut laporan Worldometer (per 22 Mei 2020), Indonesia tercatat ada 20.162 kasus positif corona, 1.278 meninggal dan 4.838 orang yang dinyatakan sembuh. Indonesia berada di peringkat 31 dari 215 negara di dunia yang terinfeksi Covid-19. Ini secara data dan angka. Saya yakin faktanya bisa saja lebih dari yang tertulis di data tersebut.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi internasional sejak 11 Maret 2020. Lalu Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 31 Maret 2020. Kebijakan ini dikeluarkan agar penularan virus corona tidak makin meluas. Implikasi pembatasan sosial berarti kita harus bekerja, bersekolah, beribadah dari rumah. Interaksi fisik sangat dibatasi agar virus jeri dan tidak menulari.
Tapi, lagi-lagi penerapan peraturan itu tidak, atau belum, berjalan dengan mulus. Alih-alih menahan penyebaran dan penularan virus, nyatanya dari hari ke hari jumlah kasus makin meningkat. Banyak jatuh korban. Tapi, yang kasihan adalah pemerintah dan petugas kesehatan. Mereka berjuang mati-matian untuk menyelamatkan rakyat. Banyak yang menaati dengan tetap bergotong royong, bersikap solider, saling membantu, tetap tinggal di rumah. Namun, tak sedikit rakyatnya yang tetap pongah dan tidak mau taat.
Mereka merasa punya harga diri sebagai makluk sosial yang berakhlak dan beragama. Itu membuat mereka merasa kebal dan tahan terhadap serangan virus corona. Padahal tidak semua tubuh rakyat itu kebal. Imunitas dan intelektualitas tiap orang berbeda. Tapi spesies manusia pongah ini tetap merasa kebal dengan aturan yang dibuat oleh manusia, apalagi pemerintah. Dilarang mudik, tetap ngotot pergi. Disuruh tetap tinggal di rumah, malah berkeliaran. Alhasil, pemberlakuan PSBB tetap belum dapat membendung pergerakan Covid-19. Karena penularannya berbanding lurus dengan banyaknya para Covidiot jilid dua ini.
Para penganut covidiot ini lahir dari kondisi gagal paham dan sesat pikir akut. Buahnya adalah keyakinan dan kebenaran diri berlimpah yang antipemerintah, antiaturan manusia. Kepongahan ini membuat para covidiot merasa kebal hukum, kebal virus, kebal aturan. Kepongahan ini pula yang membuat para covidiot minim asupan afeksi, cinta, bela rasa, kesetiakawanan sosial.
Khusus di Indonesia, saya berpikir, seandainya saja peraturan pemerintah itu dibuat atau diselipkan di dalam kitab suci, maka peraturan itu pasti akan efektif. Atau, misalnya peraturan itu ditambah pasal-pasal yang membawa-bawa nama Tuhan, surga dan neraka, pasti banyak orang yang tadinya pongah dan berakhlak tinggi itu akan taat dan tunduk. Misalnya, pasal itu menyebutkan, “Barangsiapa tidak menaati aturan pembatasan sosial maka akan dilaknat dan dimasukkan dalam api neraka.” Saya membayangkan aturan model ini akan efektif untuk menundukkan kesombongan anak bangsa di negeri religius seperti Indonesia. Para covidiot akan tiarap dengan sendirinya. Bukan takut corona, tapi takut tidak mendapat surga.
Agaknya para covidiot di negeri ini hanya bisa dibasmi dengan aturan-aturan dengan sanksi surga dan neraka. Kalau sanksi denda atau disuruh putar balik ketika mudik, pasti tidak akan ngefek. Mereka malah akan membalas, “Orang jahat di penjara saja dilepaskan, masak kita orang benar di jalan Allah malah dimasukkan penjara?” Dengan argumen ala covidiot ini mereka seolah ‘boleh’ menentang aturan pemerintah. Pembatasan sosial pun tak ada artinya.
Saya kutip lagi tulisan saya dua bulan lalu. Siapa tahu akan mencerahkan para covidiot jilid dua ini. Jadi, agar kita tidak menjadi covidiot, berhentilah merasa hebat, paling besar, paling benar. Mari kita renungkan kata bijak dari Abdul Kalam, mantan Presiden India. Katanya, “Jarak tidak pernah mematikan sebuah relasi. Kedekatan pun tidak pernah membangun sebuah relasi… Hanya rasa kepedulian seseorang yang dapat membangun kesetiaan dan mempertahankan sebuah relasi …” Jika ini diterapkan, niscaya, corona pun akan sebal, marah-marah, dan frustasi karena tidak bisa menginfeksi anak negeri. Maka sebentar lagi corona akan hengkang dari negeri ini. *** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: https://tangseloke.com/wp-content/uploads/2014/10/pasarciputat.jpg
Leave a Reply