Inspiration

“CUMA …”

Efek pandemi Covid-19 memang luar biasa. Kebiasaan hidup dan penghidupan manusia terkena imbasnya. Semua seolah terpuruk dan tersudutkan jasad renik bernama virus corona. Tak terkecuali hajat hidup orang.

Ketika pembatasan sosial berskala besar diberlakukan, perkantoran, peribadatan, dan pendidikan dirumahkan. Denyut kehidupan dan roda ekonomi perlahan meredup. Kompor masak di dapur orang pun lama kelamaan meredup. Entah karena gas habis. Atau, memang tidak ada lagi yang bisa dimasak di atas kompor.

Seluruh negeri sontak merespon situasi ini. Maka muncullah modal sosial negeri kita yang kini termasyhur di seluruh dunia. Menurut Legatum Prosperity Index 2019, Indonesia menduduki peringkat kelima dari 167 negara karena modal sosialnya yang hebat. Modal sosial dilihat dari kemampuan personal dan relasi sosial, nilai-nilai sosial dan keikutsertaan masyarakat sebagai warga negara dalam menolong sesama. Kita patut bangga sebagai bangsa Indonesia yang berada di lima besar bersama Norwegia, Denmark, Eslandia dan Finlandia.

Diantara ribuan atau jutaan orang baik, saya sendiri kebetulan menjadi bagian dari modal sosial yang membanggakan itu. Bukan sok congkak, tetapi tanggung jawab saya di masyarakat memang menuntut keterlibatan saya untuk bergotong royong untuk membantu sesama yang terdampak pandemi ini. Semua orang seolah merasa terpanggil karena nurani kemanusiaan dan cinta.

Banyak orang, organisasi, lembaga yang terpanggil untuk mengumpulkan dan membagikan bantuan sosial dengan beragam bentuk. Ibaratnya membantu kekosongan yang tidak terjangkau oleh bantuan sosial dari pemerintah. Semua bahu membahu mengumpulkan, mendonasikan dan membagikan bantuan dari yang berlebih kepada yang membutuhkan tanpa pandang bulu dan SARA. Semua bersatu padu demi panggilan kemanusiaan. Semuanya dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih.

Namun kesetiakawanan sosial ini kadang terasa terluka manakala pekerja sosial merasakan absennya penghargaan. Bukan berpamrih untuk minta dihargai, tetapi sikap syukur entah terucap atau tidak, itu sudah merupakan penghargaan bagi para pekerja sosial.  

Saya merasakan sendiri ketika memberikan bantuan kepada beberapa warga yang berkekurangan dan membutuhkan. Respon warga yang menerima pun beragam. Ada yang menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. Ada yang merasa biasa. Ada yang datar dan tak memandang istimewa. Ada yang terang-terangan menolak bantuan. Ada yang acuh tak acuh. Ada yang menerima tetapi malah menggerutu. Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya.

Ada yang sudah diberi bantuan sosial beberapa kali, tetapi malah mengatakan, “Ah cuman segitu kok. Lagian, berasnya juga nggak enak.” Atau, ada yang mengatakan, “Saya sebenarnya tidak butuh. Karena saya harus memasak lagi dan itu mahal di ongkos. Mending saya beli makanan siap saji.” Ada yang merespon, “Saya tidak perlu, kasih saja ke orang lain.” Ungkapan terakhir ini disampaikan dengan bahasa tubuh yang congkak dan tidak sopan.

Kami dan para pekerja sosial atau para dermawan juga tidak ingin disanjung. Niatan berbagi dan peduli jauh lebih penting daripada sanjungan. Tetapi, saya heran terhadap orang-orang yang kehilangan syukur itu. Apakah mereka tahu berapa banyak waktu, tenaga, hati, pikiran, butiran keringat, air mata kekecewaan, kesedihan atau kegembiraannya yang terkorbankan demi bisa berbagi dan memberi? Apakah mereka yang kehilangan syukur itu sadar bahwa bantuan 15 kilogram itu jauh lebih ringan daripada beratnya beban hati ketika dimaki, difitnah, disalahkan karena memperjuangkan bantuan itu?

Saya hanya bertanya-tanya dalam hati, karena masih banyak orang miskin dan kelaparan di luar para penerima bantuan tadi. Badan Dunia PBB mencatat masih ada 821 juta penduduk dunia yang mengalami kelaparan, kekurangan gizi, dan kematian akibat kekurangan pangan pada 2018. Saya merasa miris dan mengelus dada ketika dalam situasi semacam ini masih banyak orang yang memandang sebelah mata bantuan sosial. Seolah kata syukur masih kalah dengan harga diri agar tidak dianggap rendah karena menerima bantuan sosial. Dalam konteks ini, virus corona ternyata belum bisa menginfeksi harga diri. Tapi, entahlah. *** (Leo Wahyudi S)

Photo credit: cnnindonesia.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: