Inspiration

JENGKEL?

Betapa sering kita mengalami kejengkelan dalam kehidupan kita, baik di keluarga, di masyarakat, di lingkungan kerja. Semua orang pasti pernah mengalami. Saya sendiri sudah akrab dengan rasa kecewa dan jengkel. Apalagi orang yang tidak sabaran seperti saya. Maunya segala sesuatu selalu sempurna, berjalan seperti rencana. Ketika melenceng sedikit, saya tidak bisa menerima. Akibatnya muncullah rasa kecewa.

Saya mencoba merenung sendiri, bahwa sebenarnya rasa jengkel dan kecewa itu hanya dimiliki oleh orang yang egois. Persis seperti saya. Semua terpusat ke ‘aku’ dan menuntut orang lain harus sesuai dengan yang ‘aku’ harapkan dan rencanakan. Kata ‘seharusnya’ ini juga memberi makna yang tidak pernah realistis. Seharusnya begini, seharusnya dia begitu, seharusnya bla bla bla… membuat orang selalu berpikir mundur. Bukan melihat fakta yang ada. Kapan majunya kalau orang selalu berhenti di titik di belakang fakta. Begitu faktanya lain dari yang seharusnya, muncullah rasa kecewa dan jengkel. Itulah yang selalu saya alami. Dan, hebatnya saya selalu lupa untuk belajar menerima kenyataan. Apapun wujud kenyataan itu.

Tidak heran kalau saya sering jengkel ketika pengurus di suatu organisasi atau di masyarakat tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya. Atau, saya jengkel dengan pasangan atau anak ketika mereka tidak menuruti aturan atau kesepakatan yang seharusnya. Coba kalau saya ini mau lebih realistis sedikit, pasti rasa jengkel tidak akan betah berlama-lama di hati saya. Saya terima saja kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa anak saya malas mengerjakan PR. Kenyataan bahwa pengurus saya tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Kenyataan bahwa orang yang sudah janji ketemuan terlambat datang. Kenyataan bahwa hidup tidak harus selalu sesuai dengan apa yang saya kehendaki.

Orang egois, tidak sabaran, perfeksionis seperti saya ini sungguh rentan terhadap virus kekecewaan dan kejengkelan. Saya selalu lupa bahwa kesempurnaan itu tidak ada di dunia ini. Maka ada ungkapan, tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Sang Maha Sempurna pemilik kehidupan. Kesempurnaan sesungguhnya adalah proses perjuangan menuju kesempurnaan itu. Saya juga lupa bahwa masih ada banyak ‘aku’ yang lain selain ‘aku’-ku yang layak dihargai dan dihormati.  

Harapan dan tuntutan terhadap sesuatu yang tidak ada akan membuahkan kekecewaan. Kekecewaan dalam kadar tertentu akan menghasilkan kejengkelan. Obatnya sederhana. Kalau tidak mau jengkel, kita harus belajar menerima kenyataan apa adanya dengan ikhlas. Tidak menuntut atau berharap terhadap apa yang tidak ada. Sekalipun kenyataan itu tidak sesuai dengan harapan kita. Kita tidak perlu lagi mengatakan ‘seharusnya’. Katakan saja, “Inilah kenyataannya, mau bagaimana lagi, meski agak mengecewakan.” Menerima kenyataan apa adanya berarti berdamai dengan keadaan. Ketika berdamai dengan kenyataan, maka kedamaian akan betah tinggal di hati kita. Ketika memprotes keadaan, maka kejengkelan akan selalu merecoki hati kita. *** (Leo Wahyudi S)

Photo credit: liputan6.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: