JALAN BERLUBANG
Suatu kali ada seorang sahabat hendak pergi mencari makan malam. Kala itu hari habis hujan. Senja pun baru saja beranjak ke peraduannya. Hujan masih menyisakan jalanan becek dan kubangan di jalanan kampung. Perut lapar telah memaksa sahabat itu untuk berjalan menuju warung makan terdekat. Ia harus melewati jalanan kampung sebelum mencapai warung tersebut.
Setelah berjalan beberapa saat, ia sempat terhenti sejenak di ujung jalan kampung itu. Ia menatap jauh ke depan di sepanjang jalan yang akan dilaluinya. Sisa senja masih menyisakan cahaya sedikit yang membuat jalan kampung yang becek itu berkilauan. Di sana-sini banyak pantulan air. Ia berpikir bahwa banyak kubangan di jalan berlumpur yang akan ia lewati. Dalam pandangannya, jalan itu sudah tidak menyisakan lagi jalan kering yang dapat dilalui tanpa harus terperosok ke kubangan.
Pikiran dan niat sahabat itu menjadi goyah sejenak. Ia ingin berbalik dan membatalkan acara makan malam di warung kesukaannya. Ia tidak ingin kotor karena tanah becek. Namun di sisi lain, perutnya yang minta diisi tidak mau berkompromi dengan keadaan tersebut. Ia bimbang. Antara perut lapar dan keengganan melalui jalan becek. Semakin pandangannya menyusuri jalanan itu semakin enggan rasanya untuk melangkah.
Tetapi,tak berapa lama kemudian ia memutuskan untuk tetap maju menapaki jalanan basah tersebut. Ia sudah bertekad bulat untuk tetap melangkah. Rasa laparnya sudah mengalahkan segala kekhawatiran dan keengganan yang menghinggapinya. Begitu sampai di ujung jalan, sahabat itu berhenti sejenak. Ia berbalik dan melihat ke belakang. Dilihatnya jalanan becek yang berhasil dilewatinya. Ada rasa bangga. Ada rasa tak percaya. Apalagi kalau dilihat alas kaki dan ujung celana panjangnya tetap bersih. Tak ada noda lumpur yang mengotorinya.
Pengalaman sahabat dalam cerita itu sering pula kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita memiliki suatu kehendak atau niat untuk melakukan sesuatu, pasti ada saja hal-hal yang akan menghalangi niat itu. Sesuatu yang biasanya bukan masalah dapat menjadi masalah besar saat kita sedang memiliki suatu intensi. Tidak jarang kita sudah mengandaikan apa yang akan terjadi hanya dengan melihat. Dengan melihat, seolah kita sudah mengerti apa yang akan terjadi. Semakin melihat terlalu jauh, pengandaian itu seolah semakin menjadi kenyataan. Akibatnya, timbullah kekhawatiran yang tidak perlu.
Ternyata dengan memandang ke bawah, hanya sejauh mata dan langkah kita, kita dapat menemukan jalan yang pantas dilalui. Jarak pandang pendek sudah cukup untuk membuat satu atau dua langkah. Hanya dengan menjalani satu atau dua langkah, ternyata masih ada jalanan kering yang dapat dilewati. Ternyata pula, kekhawatiran kita akan jalan becek dan berlubang itu tidak semengerikan yang kita perkirakan. Masih ada jalan aman dan kering yang dapat dilalui tanpa harus mengotori kaki dan pakaian kita.
Dengan menjalani hidup satu atau dua langkah, maka kita akan tahu. Memandang terlalu jauh ke depan kadang justru menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak perlu. Saat telah sampai di penghujung jalan, perlulah kadang kita menoleh ke belakang. Hanya demi melihat seberapa jauh langkah kita dan upaya kita menjalani proses. Ketakutan itu telah berubah menjadi kepercayaan diri. Kita mampu melewati jalanan becek dan berlubang. ***(Leo Wahyudi S)
Photo credit: haluansumatera.com
Leave a Reply