BAHU JALAN
Coba kita bayangkan, di saat pagi saat mau ke kantor, ke sekolah, atau menuju tempat rapat penting, tetapi kita terjebak di tengah kemacetan lalu lintas yang parah seperti di Jakarta, misalnya. Kendaraan menumpuk, tidak bergerak. Waktu pun dengan santuy-nya tetap berjalan dengan jarum dan angka digitalnya. Bukan kita kehabisan waktu. Tapi waktu yang meninggalkan kita di tengah kemacetan parah. Waktu tidak pernah habis. Perjalanannya konstan, 24 jam sehari waktu bumi bagian manapun.
Dalam kondisi panik, penuh amarah, kegusaran, ketakutan, kegelisahan akut, pikiran kita hanya ingin mencari celah agar bisa bergerak cepat. Solusi tercepat adalah mencari jalan pintas. Ketika di jalan tol, jalan pintas ada di bahu jalan. Kalau di jalan raya, jalan pintas ada di trotoar atau gang tikus atau jalan kompleks perumahan.
Kita mendapat solusi sesaat dengan jalan pintas. Pola pikir ini rupanya terekam kuat, bahkan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Celakanya, kemajuan jaman dan kecanggihan teknologi memang memasilitasi mindset jalan pintas ini. Maka muncullah shortcut. Ini dibuat semata-mata untuk memudahkan manusia dengan memangkas tahapan sebuah proses.
Banyak orang beranggapan, hidup sudah susah jangan dibuat susah lagi. Kalau ada cara pintas, kenapa harus dibuat susah. Begitu kira-kira pola pikir yang umum. Manusia sering membuat simplifikasi untuk menyederhanakan dan bahkan memotong sebuah proses. Wajar kalau muncul kasus korupsi, tipu-tipu, babi ngepet, tuyul, sampai dukun yang melipatgandakan uang seperti kasus Dimas Kanjeng, lembaga investasi bodong. Iming-iming kekayaan dan kenikmatan sesaat menyuburkan mental jalan pintas dalam kehidupan di tengah budaya instan ini.
Saya bukan anti dengan mental dan upaya jalan pintas ini. Godaan itu begitu kuat sehingga saya pernah tertipu oleh tukang sulap patgulipat. Saya pernah kena tilang di jalan gegara jalan pintas ini. Saya hanya berpikir, jalan pintas ini bukan mencari solusi tetapi malah membuat masalah baru karena melanggar tatanan dan aturan hukum alam. Mental jalan pintas diramu dengan nafsu dan kegoblokan permanen menjadi kombinasi formula yang ampuh untuk menuju ke penderitaan yang penuh air mata buaya.
Saya tersadarkan oleh ibu saya ketika menanam padi. Ibu saya dengan tekun menyiapkan lahan sawah, yang kemudian ditaburi bibit padi yang baik. Benih padi itu dihidupi oleh air, dipupuk oleh harapan, dan dijaga dengan kesetiaan. Tak terasa harapan dan kesetiaan selama sekitar empat bulan itupun membuahkan hasil, panen padi. Padi lalu digiling menjadi beras untuk dijual atau dimakan untuk menghidupi keluarga.
Ternyata Tuhan bukan tukang sulap, bukan ahli sihir, bukan pakar jalan pintas. Padahal Dia Maha Hebat. Dia toh menciptakan segala sesuatu melalui proses yang berawal dari benih dan berakhir sampai buah. Proses itu ada yang lama, ada yang sebentar. Bisa saja Tuhan bersabda, “Sim salabim”, lalu jadilah beras. Tapi dari kisah awal penciptaan hingga kini, Dia selalu mengajarkan sebuah proses dalam kehidupan. Dia mengajarkan cinta, kesetiaan, harapan serta kesabaran dalam sebuah proses. Bukan jalan pintas yang melanggar aturan. ***(Leo Wahyudi S)
Photo credit: edorusyanto.wordpress.com
Leave a Reply