NOTASI
And I
can’t fight this feeling anymore
I’ve forgotten what I started fighting for
It’s time to bring this ship into the shore
And throw away the oars, forever
Cause I can’t fight this feeling anymore
I’ve forgotten what I started fighting for
And if I have to crawl upon the floor
Come crashing through your door
Baby, I can’t fight this feeling anymore
Lagu REO Speedwagon yang ditulis
Kevin Cronin itu serasa berdentam menemukan
ritme yang pas dengan gemuruhnya hati. Meresapi lirik lagu di sepanjang tol
Cipali serasa tidak cukup. Ratusan kilometer masih bel berujung saat lirik itu
menghunjam tajam ke relung. Memori masih terseok berlari di belakang, teringat
pertemuan terakhir.
Duniaku kini menjadi hiperbolis. Aku lebay.
Harus berani kukatakan, kau bagaikan partitur lagu yang mendorongku untuk
selalu melihat dan mendentingkan tuts- tuts piano. Harmoni nada itu selalu
memanjakan indera pendengaranku yang memantrakan dentingan hati.
Kenapa ketulusan persahabatan tanpa pamrih itu
menjadi berpamrih meski tanpa kata ‘pamrih’. Kata hati tak harap kembali. Kasih
yang selalu terdoktrin selama ini menjadi teringkari saat mendengar lagu itu.
Hati bagaikan angin yang bisa menelusup seenaknya kemanapun ia ingin. Gegara
hati tak bermata inilah perkara bermula.
Kedekatanku denganmu tulus adanya. Awalannya pun
bukan kebetulan. Karena tak ada kebetulan dalam terang iman. Tak ada yang
memaksa kita mendekat. Vibrasi alam yang membuat frekuensi kita tune in.
Bagaikan mendengar lagu dari frekuensi radio yang pas. Nyaman, aman, mengalun
dalam nada bening.
Aku hanya ingin selalu ada ketika kau
memerlukan. Akulah tempat sampah segala kegalauanmu yang membuncah. Akulah
spons yang kau jadikan peredam jeritan kesakitanmu yang mendera. Akulah tangan
yang kau bimbing untuk mengolesi luka-lukamu. Aku pula yang ingin selalu
memberikan bahu dan dada ketika kau lelah menegakkan dagu keakuanmu. Tak lebih,
tak kurang.
Kau ibarat vas keramik yang tak ternilai. Aku
hanya ingin menjaga, menikmati keindahannya. Aku hanya tak rela kalau vas itu
ada rekahan. Aku ingin selalu menikmati keutuhan vas keramik itu sepenuhnya.
Kalau boleh jujur lagi, aku tak ingin kau pergi meninggalkan Dia yang selama
ini telah kau peluk.
Sayang, aku kelewat protektif. Aku kelewat
lancang. Sampai beberapa sidik jariku tertinggal di tubuh vasmu. Aku lancang.
Atau, kurang ajar? Ya, mungkin…I’ve forgotten what I started fighting for
And if I have to crawl upon the floor
Come crashing through your door… Terngiang
lagi potongan lirik lagu itu. I can’t fight my feeling.
Aku tercenung. Jatuh hati dan jatuh benci
sama-sama kubenci, karena dua-duanya selalu menjerumuskanku dalam kedunguan.
Terdengar kutukan, “kau tak lebih dari bajingan laki-laki yang selalu
ingin menelanjangi perempuan sebaik dia. Pantas kalau kini dia merentang
jarak.”
Kau kini jauh. Bahkan menjauh. Aku merasa itu.
Menjauhkan frekuensi yang pernah kita nikmati bersama, agar suara itu tak
kudengar lagi. Aku telah menyentuh buah sakral di Taman Eden milikmu. Kini aku
hanya ingin merawat keranjang yang pernah kau penuhi dengan sampah,
sumpah dan segala serapahmu. Setidaknya aku masih beruntung, karena dari baunya
pun aku masih terhidupi oleh energi positifmu.
… What
started out as friendship, has grown stronger … Suara lagu itu sayup-sayup
terdengar mencemooh kedunguanku.*** (Leo
Wahyudi S)
Photo credit: amazon.com
Leave a Reply