PAMRIH DAN KOMA
Suatu malam, saya melihat seorang bapak dengan penampilan kumuh sedang menarik gerobaknya di pinggir jalan sebuah perumahan elit. Saya pikir gerobak sampah. Begitu saya melewatinya, saya melihat ada seorang gadis kecil yang tidur meringkuk di atas tumpukan barang dan botol bekas.
Sontak rasa iba saya berontak. Motor langsung saya pinggirkan persis beberapa meter di depan jalan bapak dan gerobaknya itu. Saya lalu spontan mengambil dompet dan mengambil uang kertas lima puluh ribuan satu-satunya yang tersisa di dompet. Ketika bapak itu lewat di dekat saya, saya hentikan ia sambil mengulurkan selembar uang kertas itu. Saya merasa terharu dan iba dengan anaknya yang meringkuk pulas. Mungkin dia lapar. Tapi harus menemani bapaknya mencari barang rongsokan di awal malam itu.
Bapak itu pun menerima dengan biasa dan muka datar. Saya pun lega. Lalu saya melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan itu saya merasa bahagia karena bisa berbagi rejeki dengan yang memerlukan. Meskipun saya juga sadar, bahwa uang di dompet saya tinggal lima ribu saja.
Entah setan apa yang datang, tiba-tiba saya teringat bahwa bapak tadi menerima pemberian saya dengan sikap biasa. Kata terima kasih pun diucapkan dengan datar. Tanpa sadar, kebahagiaan yang saya rasakan tadi mulai bergeser dengan beribu pertanyaan dan berujung pada kekesalan. Berarti memang itu modusnya agar orang berbelas kasihan. Seolah menerima pemberian orang adalah hal biasa. Tak ada yang ‘wow’ gitu. Tidak ada ekspresi syukur dan terima kasih di raut mukanya. Hati dan pikiran saya mulai berperang. Antara kebaikan dan penyesalan. Antara keikhlasan dan ketidak ikhlasan.
Secara manusiawi, rasa kecewa itu pasti akan muncul dengan sendirinya. Namun jika ditilik dari pemaknaan memberi, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk menggerutu dan bahkan menyesali apa yang telah diberikan pada orang lain.
Di sisi lain, saya sadar bahwa melakukan sesuatu itu harus dijalankan dengan hati yang tulus ikhlas. Dengan melakukan sesuatu sepenuh hati, maka suatu perbuatan akan sempurna. Semua sudah cukup. Yang lain akan ditambahkan. Tidak perlu lagi ditambah-tambahi atau dikurangi agar kesempurnaan atas apa yang diberikan dan atas apa yang telah dikerjakan itu tetap utuh.
Memberi adalah urusan memberikan. Kita memberikan sesuatu, kemudian titik. Tidak ada lagi kelanjutannya. Tidak ada koma. Kalau masih ada koma, maka hati kita masih berpamrih. Kita berharap akan imbalan, sekecil apapun bentuknya, sekalipun hanya kata terima kasih dari si penerima. Padahal, pamrih, sekecil apapun bentuknya akan mengurangi makna ketulusan. Ketulusan hati yang menyertai pemberian itu pun akhirnya harus sirna oleh pamrih. Pamrih dan koma saat kita berbagi sama saja dengan mengundang setan untuk merampas kebahagiaan saat berbagi. Yang muncul lalu gerutuan, kekesalan, penyesalan.
Betapa sering sikap dan tindakan kita disertai pamrih. Sekalipun itu tidak terucap secara terang-terangan. Kita berharap orang yang kita beri mengerti dan menghargai pemberian kita. Kita berharap orang lain akan mengetahui bahwa kita memang orang dermawan. Kita ingin diberi satu tempat dan penghargaan yang lebih dari orang lain. Kalau demikian, peribahasa Jawa untuk tidak berpamrih layak diubah menjadi “Rame ing pamrih, sepi ing gawe”. Artinya, ‘kita hanya mau melakukan sesuatu kalau ada imbalan pamrih’. Padahal seharusnya “Sepi ing pamrih, rame ing gawe.” Kita bekerja atau melakukan sesuatu tanpa harus berpamrih.
Betapa sering kita memberi, tetapi hati masih terlekat dengan pemberiannya. Artinya, tidak ada lagi keikhlasan dalam pemberian itu. Hati kita masih turut serta sambil memata-matai seperti CCTV. Kita memantau apakah orang yang kita beri punya rasa terima kasih atau tidak; menghargai kita atau tidak; tampangnya penuh syukur atau tidak, bla bla bla. Biarlah orang yang menerima menemukan makna ketulusan pada pemberian kita. Tanpa kita harus tahu dan kepo.*** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: merdeka.com
Leave a Reply