BANTAL
Seorang istri dengan bangga bercerita bahwa ia baru saja membeli bantal lantaran bantal itu diperolehnya dengan harga diskon. Harga normalnya satu bantal empat ratus ribu rupiah. Tapi diskon lima puluh persen membuatnya membeli bantal tersebut dua buah.
Bantal yang terbuat dari bahan bulu angsa itu diyakini dapat memperbaiki posisi tidur. Kalau posisi tidur bagus, berarti posisi tulang juga akan bagus. Apalagi bantal itu memang dibanderol dengan merek yang sudah punya gengsi. Tidak mengherankan jika bantal itu mampu menarik konsumen. Konsumen sudah terbius dengan sugesti pemasaran.
Terbukti, setelah beberapa minggu menggunakan bantal mahal itu, sang istri itu merasakan perubahan yang signifikan pada tubuhnya. Ia tidak lagi mengeluh sakit punggung dan sakit kepala sesudah bangun tidur. Ia kelihatan segar dan bersemangat. Kualitas tidurnya pun juga meningkat. Produktifitas kerjanya pun makin membaik pula.
Mungkin secara ilmiah, pembuatan dan bahan bantal itu memang sudah teruji secara teliti. Perhitungannya pun menyangkut manfaat fisiologis badan manusia yang akan menidurinya. Tapi yang lebih penting adalah sugesti diri si pengguna bantal itu. Ia yakin kalau tidur di atas bantal mahal itu, badannya akan semakin sehat. Semakin kuat sugesti itu, semakin terbukti kebenaran yang dirasakannya.
Bantal tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Dari bayi sampai ajal menjelang, bantal menjadi bagian penting. Dialah yang mengalasi kepala kita. Dialah lambang istirah untuk melepas kepenatan kita. Saat beristirahat dan menyandarkan penuh kepala kita, suka atau tidak, kita berada dalam fase yang ‘lemah’ dan berserah. Karena kepala yang menjadi pengendali kehidupan 24 jam harus ‘ditaruh’. Bantal akan menjadi kendaraan yang membawa isi kepala kita pada satu tujuan keheningan. Dalam daerah keheningan itulah, pikiran dan hati akan saling bertemu dan berembug demi satu solusi bersama.
Bantal bukan tempat untuk mengalasi kepala yang penuh amarah dan dendam. Bukan pula untuk mewadahi air mata kegundahan. Bantal dibuat untuk membuat nyaman kepala serta isinya. Bukan untuk menjadi tempat berpikir. Bukan tempat untuk beradu argumentasi. Bukan pula tempat untuk meletakkan kesombongan, keangkuhan. Bantal bukan sekedar alas tidur untuk mereka yang lelah berlari dari kenyataan dan masalah hidup. Dengan kelembutannya, bantal seharusnya menjadi peredam kejut dari ledakan-ledakan emosi.
Bagaimana kalau Tuhan kita bayangkan ada dalam bantal yang kita tiduri itu? Dia akan menjagai kepala kita agar kita berserah dari hiruk pikuk kepala kita yang penuh mau dan nafsu. Di atas bantal itulah, pikiran manusia dengan ritme hidup yang selalu bergegas akan terhentikan untuk sementara waktu. Setidaknya selama si empunya kepala itu menaruh kepalanya di atas bantal.
Dalam bantal ber”tuhan’ itulah kita biarkan Dia menjaga agar kita terlelap dari kepenatan, rasa sakit, kesenangan, serta semua isi kepala yang kadang menjauhkan kita dari Sang Maha Istirah itu. Dengan sugesti dan keyakinan bahwa kita tidur di atas bantal ber’tuhan’, niscaya postur jiwa pun akan tertata. Tidak membungkuk. Tidak pula mendongak. Semuanya akan pas. Tinggal manusianya, mau tidur beralaskan bantal itu, atau tidur di tempat lain. *** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: sleepnaturalnow.com
Mantap bro Leo
terima kasih unt sharing nya
LikeLike
Masama..makasih udah mampir baca
LikeLike
Great inspiration…. Thx
LikeLike
Thank you
LikeLike