TUHAN DAN PEMBANTU
Seorang teman bercerita tentang pembantunya yang masih muda. Dia kesal dan uring-uringan gegara pembantunya melakukan kesalahan dalam mengurus anaknya. “Dasar derajatnya pembantu, nggak makan pendidikan ya seperti itu kelakuannya. Aku jengkel karena dia tidak menuruti apa yang aku mau,” kata teman pada saya suatu sore.
Masalahnya sebenarnya sepele. Teman tadi hanya meminta agar setelah diberi makan, anaknya disuruh minum vitamin. Tapi, karena mungkin kelelahan mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga, tahap minum vitamin itu terlewatkan. Alhasil, kelalaian ini dianggap sebagai sebuah kesalahan fatal dan tak termaafkan oleh teman yang menjadi majikan sang pembantu itu.
Relasi majikan dan pembantu (yang sekarang biasa dijuluki asisten rumah tangga agar lebih bermartabat) memang relasi yang membedakan kelas sosial. Ada jurang pemisah antarkelas, kelas kaya (majikan) dan kelas tak mampu (pembantu). Kesenjangan relasi kelas ini membuat pihak pembantu rentan untuk menerima perlakuan yang kurang manusiawi. Sekaligus rentan bagi majikan untuk menyalurkan syahwat iblis yang gemar menyiksa dan membuat orang lain menderita. Kalau majikan bersyahwat hewani masih mending karena hewan masih menyayangi anaknya, mencarikan makan, dan beragam kemuliaan yang kadang manusia saja kalah.
Dalam relasi manusia dengan Tuhan pun dalam banyak praktik religius juga ada yang menerapkan pola relasi majikan dan pembantu. Hebatnya lagi, manusia memosisikan diri sebagai majikan dan Tuhan sebagai pembantu. Manusia dengan angkuh berani memerintah Tuhan untuk menuruti segala kemauannya. Perintah dan instruksi itu kelihatan suci dan mulia ketika dibungkus dalam doa yang kusyuk. Segala jenis permintaan, baik yang masuk akal maupun di luar akal diinstruksikan ke Tuhan.
Ketika permintaan yang telah dipanjatkan dengan kusyuk tak kunjung diberikan atau dituruti Tuhan, maka manusia akan kecewa dan ngambek. Lalu malas ke gereja, atau berkegiatan rohani. Permintaan manusia yang merasa diri sebagai majikan Tuhan itu aneh-aneh. Meski tidak ada hal yang mustahil di mata Tuhan, tapi permintaan manusia sering tidak fair. Masak manusia yang mendapat kenikmatan duniawi, Tuhan yang diminta untuk menanggung akibatnya.
Padahal hakikatnya, Tuhan adalah Sang Majikan Agung, dan kitalah para pembantuNya. Dia hanya minta kita percaya, berbuat kebaikan dan berterimakasih kepadaNya. Dalam posisi ini, Tuhan pun akan selalu marah-marah setiap detik kepada miliaran manusia ciptaanNya. Banyak dari kita menjadi pembantuNya yang tidak becus. Perasaan dan kejengkelanNya mungkin sama seperti yang dialami teman tadi terhadap pembantunya.
Apa yang kita alami dan lakukan kepada pembantu sebenarnya sama dengan tingkah kita kepada Sang Majikan Agung. Di hadapan Tuhan, kelakuan kita juga sama, bahkan jauh lebih buruk daripada kelalaian pembantu teman tadi. Menjengkelkan, menyebalkan, dan bisa membuat Tuhan darah tinggi. Untunglah, Tuhan Maha Penyabar dan Penyayang. Bukan seperti manusia yang berlagak seperti majikan suci. Banyak ulah kita yang membuat Tuhan kecewa dan menangis. Maka sudah saatnya kita mematut diri sebagai pembantu yang setia dan rendah hati di hadapan Sang Majikan Agung. Itu saja. Biar Sang Majikan makin sayang kepada kita.*** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: www.suarabmi.com
Leave a Reply