MALIOBORO
Masih seperti dulu / Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna / Terhanyut aku akan nostalgia / Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja / Di persimpangan langkahku terhenti / Ramai kaki lima / Menjajakan sajian khas berselera / Orang duduk bersila / Musisi jalanan mulai beraksi …
Lagu yang dibawakan oleh Katon Bagaskara dari KLa Project yang dirilis 1997 ini rasanya tetap abadi dan selalu menyentuh. Apalagi bagi orang Yogyakarta. Lirik dan alunan lagunya serasa selalu menyatu di kalbu. Tak terhilang oleh waktu.
Di suatu pagi sahabat saya datang untuk duduk sambil ngopi sebelum masuk kantor. Wajahnya sumringah, cerah dengan senyum lebar. Tampilannya sungguh fresh. Dia hanya ingin berbagi cerita sepulang dari Yogyakarta. “Baru ini saya menikmati Kota Jogja dari pagi sampai malam dengan rasa yang bebas merdeka. Saya menyusuri jalanan di Malioboro sampai ke alun-alun Keraton Yogyakarta. Rasanya indah sekali. Berjalan sendiri, dengan celana pendek, kaos oblong menikmati Jogja sepenuh hati,” katanya mengawali kisahnya.
Duduk di warung angkringan sambil ngobrol dengan orang ditemani secangkir kopi dan gorengan. Menyapa pedagang kaki lima, masuk Pasar Beringharjo, menghirup suasana pagi di Malioboro, menyaksikan orang-orang yang mulai berlalulalang. Semua dia gambarkan dengan keceriaan luar biasa. Seolah ia baru menemukan sesuatu yang ‘Aha, ini dia!’. Efek Aha moment ini membuatnya bersemangat. “Ternyata bahagia itu sederhana, ya Pak. Menikmati kota Yogyakarta tanpa diburu-buru pekerjaan, diatur-atur istri, dikejar jadwal. Indah sekali rasanya,” katanya.
Sebagai kaum urban, karyawan senior di sebuah bank, hidupnya seolah diperbudak oleh waktu, rutinitas, target dan target. Bahkan perjalanan dinas di luar negeri sekalipun tetap harus tunduk pada agenda perjalanan, tata waktu, tata busana yang sudah diatur sedemikian rapinya. Sampai-sampai, ia mengaku hampir tidak pernah menikmati perjalanan ke daerah manapun. Hanya Jogja yang akhirnya bisa membukakan sebuah keindahan dan rasa syukur yang dalam.
Sahabat saya menyadari bahwa hidup, bekerja dan memiliki jabatan di kota besar telah membuat kehidupannya ada yang kurang, meskipun secara materi ia berkelimpahan. Hidupnya seolah diatur oleh target, profit, laporan, klien. Setiap detik selalu ia berada di siklus kapitalistik semacam itu. Ponselnya hanya berisi omongan yang berorientasi target dan jadwal yang ketat. Tak ada kata ‘bahagia’ yang muncul dari rutinitas dan ponselnya.
Jebakan pola hidup serba cepat (speed trap) telah membuat sisi kemanusiaannya hilang. “Saya hanya rindu berelasi dengan orang secara manusiawi, bukan dengan gadget atau target,” katanya. Jaman yang bergerak serba cepat tidak lagi memberi ruang bagi yang lambat. Padahal, sudah lazim orang Jogja dihidupi oleh pepatah “Biar lambat asal selamat”.
George Miller Beard, seorang pakar neurologi tersohor, mengatakan bahwa orang-orang modern yang terobsesi dengan ketepatan waktu selalu berpikir bahwa tiap detik waktu sangat berharga. Implikasinya, kalau orang sampai terlambat beberapa menit, maka keterlambatan itu akan menghancurkan harapannya seumur hidup. Tak heran kalau kehidupan yang terus dipacu ini menimbulkan efek dehumanisasi. Orang mulai kehilangan sisi manusiawinya. Golda Meir, mantan perdana menteri Israel, pernah mengatakan, “Aturlah waktu. Jangan biarkan waktu mengatur kita.”
“Bahagia itu sederhana,” kata sahabat saya. “Matikan ponsel. Lupakan target. Abaikan jadwal rapat. Nikmati udara pagi kota Jogja sambil minum kopi di warung angkringan di Malioboro ditemani alunan lagu ‘Yogyakarta’ dari KLa Project.” *** (Leo Wahyudi S)
Photo credit: idntimes.com
Leave a Reply