Saya kadang geli melihat status orang atau warganet yang mengunggah sebuah adegan jalan-jalan, nongki atau hangout di areal publik seperti kafe, resto mahal, dan sejenisnya. Saya bukan iri, tapi geli melihat alasannya yang ditulis di bagian captionnya, “Ceritanya lagi halan-halan untuk healing gaes”.
Sambil tersenyum dan agak kepo, pengen tahu sedikit, saya membayangkan apa yang mereka dapat setelah halan-halan healing itu. Mungkin mereka bisa bahagia. Mungkin mereka hepi karena sudah berkabar pada dunia maya bahwa mereka sudah sampai di sebuah destinasi, resto, kafe terkenal. Mereka mungkin puas karena sudah bisa pamer atau flexing dan mendapat likes, follows, comments dari warganet lainnya. Mungkin saja healing atau nongki (nongkrong) mereka sudah berhasil menyembuhkan rasa dahaga akan validasi atau pengakuan dari pihak lain melalui jagad maya.
Saya tidak munafik, saya pun pernah melakukan hal demikian. Alih-alih mau healing dengan pamer me time, begitu selesai dan pulang ke rumah, stres itu tetap muncul. Kepala rasanya pening karena ingat besok ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Perut rasanya mulas karena ternyata rasa aslinya tak seindah dengan foto promosinya. Di titik seperti itu saya lalu merasa heroik, paling tidak saya sudah menginspirasi orang untuk ambil waktu healing yang bisa diposting seperti saya. Meskipun sejujurnya, itu juga tak menyembuhkan.
Healing itu sejatinya adalah sebuah proses penyembuhan dari sesuatu yang terganggu di bagian tubuh atau hidup kita agar kembali normal dan sehat lagi. Gangguan itu bisa secara psikologis atau mental maupun fisiologis atau badaniah. Caranya yang paling mudah ya dengan mengenali gejala yang kita rasakan di tubuh kita sendiri. Syaratnya adalah niat mau menyembuhkan dan disembuhkan yang muncul dari lubuk kesadaran. Tanpa kedua hal ini, seringan sampai seberat apa pun sakit yang kita rasakan tak akan tersembuhkan.
Saya tidak mengatakan bahwa healing dan halan-halan mahal itu tidak boleh. Tapi ada cara healing yang lebih murah, efektif, jujur, dan mujarab. Cobalah untuk mengakrabi tubuh dengan mendengarkan apa yang dikatakan setiap bagian tubuh kita, mulai dari yang kelihatan sampai organ di dalam diri kita seperti syaraf, pembuluh darah, otot, tulang, jantung, paru-paru, limpa, liver, usus, lambung, ginjal, alat kelamin, pankreas, darah, dan terutama otak. Merekalah yang paling berjasa sehingga tubuh kita sungguh menjadi kehidupan yang menopang hidup kita hingga detik ini. Mereka sering menjerit lewat rasa sakit atau nyeri. Mereka mencoba menyapa saat letih atau kecapekan. Tapi kita abai, padahal kita punya telinga, punya hati untuk merasa.
Cobalah untuk mengakrabi dan mau mendengarkan para sahabat kita yang teramat setia dan penuh cinta, yaitu tubuh fisik kita, yang menopang roh hidup kita. Kalau sakit, sapalah. Kita harus ingat bahwa kekuatan pikiran adalah alat penyembuh luar biasa. Bahkan pikiran, menurut pakar penyembuh Benjamin Bibb, mampu melakukan penyembuhan diri sekalipun tanpa obat. Ini bisa menjadi alternatif untuk kembali menyadari anugerah luar biasa dari tubuh kita sendiri, yaitu pikiran. Bukan obat-obatan dari luar yang sekedar buatan dan motif ekonomi di baliknya.
Saya sekarang mencoba untuk peka dan mau mendengarkan tubuh. Kalau asam lambung naik, saya bilang, “Lambungku, terima kasih kamu sudah mau membantuku untuk mencerna apa saja yang kumakan. Kalau kamu protes, maafkan aku. Maafkan pikiranku. Tolong aku, kamu baik-baik ya.” Memang seperti janggal dan serasa seperti orang gila karena ngomong sendiri. Tapi buktinya, kata-kata itu mujarab. Asam lambung saya mereda setelah saya sapa sambil saya usap-usap perut saya. Di bagian tubuh lain yang seolah ingin menyapa pun saya lakukan demikian. Hasilnya tidak mengecewakan. Saya lebih jujur, lebih akrab dengan tubuh saya.
Syaratnya, kita harus punya niat untuk sehat, mau sembuh, dan mau disembuhkan oleh diri kita sendiri. Amy Scher, seorang penulis buku tentang penyembuhan diri, mengatakan bahwa kita harus ikhlas dan selaras menerima tubuh kita. Selaras itu maksudnya mau menyembuhkan, rasa layak untuk disembuhkan, tahu bahwa kita bisa menyembuhkan, dan siap untuk disembuhkan. Tanpa kesadaran ini, tubuh akan menolak untuk sehat. Dan, otak sadar kita akan selalu abai kalau tubuh kita sedang tidak sehat.
Ingatlah, sekecil apa pun, tubuh kita selalu ingin disapa lewat tanda dan gejala. Di sanalah peran kita kalau mau healing sesungguhnya. Intinya, istirahatlah ketika sudah terasa lelah. Orang yang berumur panjang konon tidak diperbudak oleh jadwal yang ketat, karena mereka mendengarkan tubuh mereka. Orang di jaman modern cenderung mengabaikan sinyal yang dikirim oleh tubuh, karena sudah didoktrin dengan semboyan “terus berjuang, selesaikan, lalu istirahat!” Tubuh pun mengikuti doktrin ini bertahun-tahun hingga akhirnya tumbang. Karena itu, dengarkanlah tubuh kita. Mereka ingin disapa. Kalau tidak, tubuh kita akan ngambekdan sudah tidak mau lagi menyapa kita.***

Leave a comment