MENERIMA SENJA, MENERIMA REALITAS
Banyak orang terobsesi, atau setidaknya punya keinginan, untuk berburu senja, menikmati senja untuk mengiring matahari jingga menuju peraduan malamnya. Mereka rela menempuh perjalanan jauh hanya demi menikmati senja di pantai, di gunung, atau di lokasi-lokasi yang menguatkan suasana senja.
Lalu kenapa senja itu menyenangkan bagi sebagian orang? Karena dia jujur. Kadang merah merekah bahagia, kadang hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya. Langit tidak pernah protes, tidak pernah menuntut senja untuk selalu indah. Langit biru bersih tak merasa ternoda oleh kehadiran mendung atau langit semburat senja. Dan dari situ, kita bisa belajar sesuatu yang penting, yaitu menerima realitas, seperti langit menerima senja.
Saya mendapatkan kata-kata indah ini dari Eyang saya yang tiba-tiba menelepon saya untuk mengabarkan keindahan senja. Ada keindahan yang lebih dalam dari sekedar langit senja, yaitu sikap hidup untuk menerima realitas apa adanya. Di usianya yang senja dan penuh kesibukan, Eyang saya ingin berbagi inspirasi tentang sikap hidup yang bisa kita petik dari langit dan senja.
Kita hidup di dunia yang sering menuntut kita untuk selalu ceria, produktif, sukses. Tapi kenyataannya, hidup tidak selalu cerah. Hidup tidak selalu seindah mulut manis para motivator. Ada hari-hari di mana kita merasa gagal, sedih, atau bahkan hampa. Dan itu bukan berarti kita lemah. Itu berarti kita manusia yang masih punya rasa, punya ego, punya akal, punya budi.
Dalam filosofi Stoicism, ada satu prinsip yang sangat relevan, “Amor Fati” yang bisa diartikan agar kita mencintai “takdir”. Bukan sekadar menerima, tapi mencintai segala hal yang terjadi, baik atau buruk. Seperti kata Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi sekaligus filsuf. Ia pernah menulis, “Cintailah apa pun yang terjadi padamu, karena itu diberikan padamu agar dirimu berkembang.” Artinya, kita harus menerima dan mencintai realitas yang terjadi, entah itu menyenangkan atau menyakitkan, mengecewakan, sebagai bagian dari proses kita untuk berkembang menjadi lebih matang.
Kita tidak bisa mengontrol semua hal. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita meresponsnya. Saat kita belajar menerima kenyataan, kita memberi ruang untuk kedamaian. Kita berhenti berperang dengan diri sendiri. Kita berhenti menolak rasa sedih, kecewa, atau marah. Kita belajar bahwa semua emosi itu valid. Semua fase hidup itu sah, karena semua kejadian atau realitas itu netral. Kitalah yang memberi cap menyenangkan atau menjengkelkan.
Seperti senja, hidup punya warna yang berubah-ubah. Tapi bukan berarti kita harus takut pada di saat mendung tebal. Justru di situ kita bisa menemukan keindahan yang lain. Keindahan dalam kejujuran, kerendahan hati untuk menerima dengan keberanian untuk tetap berdiri meski langit hati sedang kelabu.
Mari kita belajar dari senja. Belajar untuk menerima diri sendiri, menerima hidup, menerima kenyataan. Karena saat kita berhenti menuntut hidup untuk selalu cerah, kita mulai melihat bahwa bahkan dalam gelap pun ada cahaya kecil yang bisa kita peluk, bisa kita lihat. Sesungguhnya realita itu netral, kecuali kita memberi cap indah atau buruk, membahagiakan atau mengecewakan. Jadi jangan salahkan senja yang gelap atau kenyataan di luar diri kita, karena yang salah adalah pikiran dan perasaan kita yang memberi cap baik atau buruk.
Dan siapa tahu, dengan menerima semuanya apa adanya, kita justru menemukan versi terbaik dari diri kita sendiri. Versi yang tenang, kuat, dan penuh makna. Karena seperti langit, kita juga bisa belajar untuk mencintai senja dalam segala warnanya.***

Leave a comment