BELAJAR MERDEKA ATAU MERDEKA BELAJAR?
Saya masih ingin berwawan hati dengan kegelisahan sekaligus keprihatinan melihat anak-anak generasi jaman now. Anak-anak yang terlahir sebagai digital native, sudah melek digital sejak lahir. Tulisan ini juga terinspirasi dari hasil obrolan dengan para pahlawan tanpa tanda jasa, yaitu para pendidik.
Harus diakui, abad digital memang membawa pencerahan dan kemajuan. Tapi harus diakui pula, abad kemajuan tetap seperti dua mata pisau, bisa untuk membantu sekaligus bisa untuk menghancurkan.
Beberapa waktu lalu ada kawan guru yang curhat soal sikap murid-muridnya yang tidak mencapai nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Ini adalah standar nilai terendah yang harus dicapai siswa dalam suatu mata pelajaran agar dianggap tuntas atau berhasil menguasai materi pelajaran tersebut.
Menjelang kenaikan kelas, para guru harus memasukkan nilai untuk menjadi legitimasi kenaikan siswa. Tapi ada beberapa siswa yang tidak memenuhi KKM yang diberi kesempatan untuk memperbaiki nilai ternyata bergeming. Diberi kesempatan beberapa kali dengan berbagai pendekatan pun mereka tidak tergerak. Guru mana pun tentu akan pusing menghadapi spesies murid seperti ini.
Parahnya lagi, fenomena semacam ini ternyata dialami oleh pendidik lainnya. Anak sekarang seolah tidak ada rasa tanggung jawab. Tidak punya rasa takut kalau tidak naik kelas. Apalagi sekarang ada “aturan” yang mengharuskan anak harus naik kelas. Tidak ada yang tinggal kelas. Meskipun faktanya ada pula sekolah yang tetap menerapkan integritas dalam kenaikan kelas. Artinya, kalau tidak memenuhi syarat ya tidak naik. Tapi tidak banyak sekolah sekarang yang menerapkan aturan main seperti sekolah jaman dulu kala.
Kurikulum merdeka esensinya adalah memberikan otonomi dan fleksibilitas pada siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Peserta didik menjadi pusat pembelajaran. Tujuannya agar potensi dan minat mereka berkembang secara optimal. Tujuan idealnya bagus. Tapi faktanya, banyak pendidik maupun peserta didik yang tertatih-tatih menerapkan pola pembelajaran seperti ini.
Alih-alih mendalami pembelajaran merdeka, yang ada para siswa malah seenaknya bersikap. Saya dan beberapa pendidik mengamati bahwa siswa sekarang seolah bebas menentukan sikap untuk belajar atau tidak. Mereka bebas mau naik atau tidak. Mereka bahkan tidak peduli. Persis seperti zombie yang mati segan, hidup pun tak hendak. Tentu ini tidak bisa digeneralisir di semua lembaga pendidikan. Namun saya yakin ada banyak sekolah yang mengalami situasi semacam ini.
Padahal kebebasan sejatinya bukan berarti memberi kesempatan untuk berbuat kesalahan atau berbuat seenak perutnya sendiri. Kebebasan seharusnya dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan agar tak berulang. Inilah makna merdeka sesungguhnya.
Menghadapi model generasi zombie yang salah memilih makna merdeka semacam ini, mau tak mau para pendidik, menurut hemat saya, pun harus berusaha fleksibel. Artinya harus punya mindset yang terbuka, mau menyesuaikan diri, mau menurunkan standar ekspektasi, dan tak jarang harus mau berkompromi. Tanpa pertimbangan semacam ini, maka dunia pendidikan sekarang akan ambruk. Pendidiknya berpegang teguh pada pola didik lama. Peserta didiknya tetap merasa merdeka dan seenaknya.
Perlu juga disadari bahwa kesenjangan generasi antara pendidik dan peserta didik itu nyata. Kesenjangan itu makin menonjol ketika kedua pihak saling membanggakan keunggulan generasinya masing-masing. Generasi pendidik bangga dengan pola keutamaan dan nilai-nilai lama. Generasi peserta didik pun ngotot dengan keunikan dan ketidakpedulian mereka. Yang paling mungkin untuk memperkecil kesenjangan itu adalah sikap mau beradaptasi dan berkompromi.
Titik kompromi ini mungkin bisa menyelamatkan pendidikan di negeri ini. Selalu ada solusi, kata salah seorang kawan pendidik. Istilahnya diferensiasi, yaitu cara pandang yang lebih luas dan bijak untuk membedakan. Yang harus dipahami di benak pendidik adalah bahwa setiap peserta didik itu punya kelebihan dan kepintaran masing-masing. Mereka tidak homogen yang bisa distandarkan dengan satu ukuran baku dan kaku.
Dalam hal ini pendidik dan peserta didik harus memahami arti kemerdekaan itu secara bertanggung jawab. Mereka punya banyak talenta dan mereka bebas memilih. Memilih maju, solutif, inovatif, atau memilih apatis, tidak peduli, egois. Dengan kesadaran ini, kita akan bisa memaknai belajar merdeka. Merdeka dari sikap dungu agar semua bisa maju.***
Foto dari https://www.educationnext.org/what-we-know-about-teacher-race-and-student-outcomes/

Leave a comment