HANYA MEMBERI, TAK HARAP KEMBALI
Pernahkah Anda dihadapkan pada situasi ketika Anda “terpaksa” harus merogoh kantong untuk memberi? Pasti banyak pengalaman semacam itu yang pernah kita temui, entah di jalanan, di rumah, di tempat ibadah, di sekolah, di kantor, di masyarakat, atau di dunia maya.
Sering kita mengalami pengalaman memberi namun tidak mengenakkan. Misalnya saat kita menemui tukang parkir liar yang tiba-tiba muncul saat kita akan mengambil motor ketika mampir di warung tenda pinggir jalan, atau saat kita belanja sebentar di kios kecil. Kita terpaksa memberi “jasa parkir” meskipun tidak ada kewajiban. Toh hanya berhenti 10 menit dan kendaraan juga tidak dijaga. Hal yang sama terjadi pada saat menghadapi Pak Ogah yang “bertugas” di setiap putaran atau tikungan gang. Mereka seolah menjual jasa agar kita bisa berputar atau berbelok dengan aman. Padahal tanpa mereka pun memang seharusnya kita bisa berbelok.
Belum lagi ketika perjalanan kita tersendat gegara ada deretan orang yang menggunakan toa dan drum di tengah jalan untuk meminta sumbangan pembangunan rumah ibadah. Mereka menjual janji surga dan pahala agar kita rela menyumbang demi agama. Mereka meminta untuk sesuatu yang mulia tapi dengan cara yang menyusahkan banyak pengguna jalan. Ironis memang.
Hal yang sama terjadi saat kita dimintai sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah atau sumbangan ke panti asuhan dengan cara menodong dan setengah memaksa. Segala jenis permintaan sumbangan dengan gaya memaksa itu membuat suasana tak nyaman bagi orang yang awalnya tulus ingin memberi jadi menggerutu. Dan, masih banyak contoh lagi cara-cara pencarian dana yang tidak elegan semacam itu di segala bidang dan di segala lini.
Ini bukan soal uang receh dua ribu hingga jutaan rupiah yang kita berikan. Ini juga bukan persoalan kewajiban bagi orang kaya atau miskin agar mau berbagi. Kita semua sepakat bahwa memberi itu adalah perbuatan terpuji. Kemurahan hati adalah keutamaan hidup setiap umat manusia.
Tapi yang jadi persoalan adalah bagaimana sikap kita saat memberi. Ini yang patut kita renungkan. Tepatnya, ini adalah permenungan saya sendiri untuk urusan memberi. Meskipun ini perkara sederhana, tapi kadang kalau dirasa lebih dalam tidak juga sederhana.
Kita pasti pernah, dan mungkin sering, punya motivasi untuk memberi dan berbagi karena berharap kembali. Wujud kembalian itu bisa kata terima kasih dari si penerima, bisa harapan pahala dan amal, bisa juga pamrih lain agar kita dimudahkan, dilancarkan saat naik jabatan. Ketika pamrih ini membesar, inilah yang menjadi pembuka peluang korupsi kalau di level besar lewat suap yang dibungkus dengan istilah ‘memberi’.
Ukuran ketulusan itu hanya hati kita yang tahu. Saat memberi, sekecil apa pun, kalau masih ada pamrih, maka sejatinya memberi hanyalah jadi alat kalkulasi dan hitung-hitungan. Itu bukan memberi, tapi berdagang.
Kalau kita memberi karena kita ingin mendapat berkah berkali lipat, kita tidak memberi, tapi berjualan. Kalau kita memberi karena ingin diakui, kita sedang berhitung-hitung demi keuntungan sendiri. Jangan bernegosiasi dengan Tuhan atau semesta.
Saat kita memberi, tapi dengan hati terpaksa, maka itu bukan memberi dengan hati tulus. Sekecil apa pun rasa jengkel, gerutuan, omelan, selirih apa pun, kita berarti tidak tulus memberi. Pemberian kita pun tidak jadi berkah.
Memberi yang tulus itu sejatinya tidak pernah mengharap kembali. Kalau kita memberi, karena kita rela dan gembira, maka hati kita memang terpanggil untuk memberi. Kita merasa bahagia karena memberi. Kita sedang mengaliri hidup kita dengan kebahagiaan. Hidup kita dipenuhi berkah.
Tuhan dan semesta akan memberikan kelimpahan seturut dengan perasaan tulus dan bahagia yang kita pancarkan. Semesta tidak menghitung banyaknya uang yang kita berikan. Uang hanya simbol. Memberilah dengan hati. Yang penting pancaran perasaan bahagia saat memberi, dan itulah yang akan dilimpahkan balik kepada kita. Balasan itu bukan urusan kita.
Memberi harus dengan hati dan rasa tulus. Saya jadi ingat dan menyenandungkan lagu “Kasih Ibu” karya S.M. Mochtar asal Makassar yang legendaris. “Kasih ibu kepada beta/tak terhingga sepanjang masa/hanya memberi tak harap kembali/bagai sang surya menyinari dunia …” ***
Foto dari https://www.gp7.es/modelo-182-declaracion-informativa-donativos/

Demikian lah sang sumber tanpa pamrih pun bekerja, kasih Allah yg melimpah untuk alam semesta, khususnya bagi insan manusia yg sangat rendah dan kecil di hadqpan Allah..
salam njegog.. guk.. guk..
LikeLike